Rabu, 18 Maret 2009

tak lagi

pagi itu aku berlari,
kupijak-pijak genangan air
menggambar sketsa langit di jalanan.
aku berhenti.
kupikir aku mellihatmu,
ternyata tidak!
tak lagi kupijak genangan air,
juga sketsa langit.
aku duduk di bangku panjang.
di langit ada pucuk-pucuk bambu.
aku bergerak mengikutinya,
kanan, kiri.
aku berhenti.
kupikir aku mendengarmu,
ternyata tidak!
aku tak lagi duduk,
aku tak lagi ada.


18 january, dua ribu tujuh.

buta warna

sehabis malam pekat.
pagi datang tanpa sapa.
membawa layar yang begitu cerah.
lalu dari bukit ini kusaksikan,
pelangi melingkari mataku.
tiba-tiba aku memuja warna.
dalam komposisi yang tak kumengerti.
sementara tak kuingat,
di mana?

agenda pagi

selamat pagi!!!
kau sudah terbangunkah?
ini aku, wangi pagi.
kita berjanji bertemu di tepi cahaya,
kau ucapkan itu semalam, menjelang tidur.
menepilah ke jendela, kau tahu kamarmu adalah lautan.
kita hampir sampai di tepi cahaya.
hiruplah aku, di dadamu aku akan mencair ke dalam darahmu,
bercerita pada tiap sel tubuhmu.
betapa aku merindukan pertemuan itu.
tak lebih rendah, tak lebih tinggi,
kita menyatu dalam datar.
di mana hinggap kupu-kupu.
seperti biasa, dalam terbangnya ia bergetar,
melukis pendar di langit.

Senin, 09 Maret 2009

sunyi

aku adalah sunyi.
di sudut benci, di tepi rindu.
di dalam tanda  tanya.
memukul, membanting.
menjerit, menangis, marah,
aku diam.
aku begitu mengagumi suara.
hingga rela kupejamkan mata.
dan kutahan detak jantung.
demi mendengarnya.
tapi ketika ia tiba,
aku hilang.

january 2007

Rabu, 04 Maret 2009

Mata, luka, senyum & Cinta

Sore itu aku menemui dua pasang mata. ke dalamnya aku mencoba menerobos sejauh-jauhnya, menyibak tabir, menelusuri urat-urat pembuluh darah di dalamnya. Membelah selaput yang menghalangiku, meski kemudian aku sadar, selaput itu membungkus diriku sendiri, bukan menghijab dua pasang mata itu dariku.
Aku tahu, dua pasang mata itu begitu terbuka, menyaksikan setiap pertunjukanku. Bahkan telah berpuluh tahun demikian. menyaksikan setiap luka yang kutawarkan. Semua luka, kesombongan amarah, hujat, mungkin kedurhakaan.
Dua pasang mata itu begitu teduh, melindungiku dari terik, hujan kerikil dan badai kebimbangan, berpuluh tahun sudah.
Hingga sore itu, aku menemui kedua pasangnya.
Aku menemui keduanya, tetap teduh, menerima aku yang datang dalam keadaan medeng(tegang dalam ketidak mengertian).
Sepasang menatapku, kokoh, tak bergeming, pembuluh-pembuluh darah di sekeliling pupil itu bicara padaku, dengan kekuatan yang tenang, tetap teduh.
Sepasang yang lain terpejam, darinya menetes butir-butir bening.
Ah, Aku begitu rindu pada cahaya di balik pejamnya itu.
Aku diam.
Aku menunggu mata itu terbuka, biar basah, aku begitu rindu. Pada cahaya di balik pejamnya itu....
Aku begitu rindu pada cahaya di balik kelopak mata yang terpejam itu. Darinya mengalir butir-butir bening.
Kepada dua pasang mata itu aku datang, kubawa sebuah peti. Bukan mudah jika Kau tahu, aku menyeretnya. Di pinggang dan pundakku terpilin tali dari akar-akar, peti itu adalah kedunguanku, Kau tahukah isinya?
Sebentar, lihatlah diriku. Lihatlah aku harus membungkuk untuk membuat peti itu bergerak. Lihat, Kau bisa temui jejak tali-temali di pundak dan perutku. Kini keduanya basah, keringat, dan aku harus telanjang dada.
Di sisi jantung, dadaku berdarah, luka kecil itu belumlah sembuh betul jika kau lihat. kakiku pecah berdarah, lihat wajahku, kau bisa temukan sepasang mata yang nanar, berair. Tapi aku bukan menangis. Aku tidak mudah menangis jika kau tahu. Aku tidak suka menangis, dan aku tidak sedang menangis. kau ingat itu. aku telah sampai, sejenak ber-medeng(tegang dalam ketidak mengertian) dengan dua pasang mata itu, aku lalu merindu cahaya, sesaat. kulepas perlahan lilitan di perut da bahuku, merah. Perih, jika kau tahu, kadang aku lebih suka ia tetap di situ, mungkin karena ia sudah biasa demikian.
Aku merunduk seperti ruku'. darah masih merembes dari sisa luka di kakiku. lalu tengadah, kuucap do'a.
"Tuhan, kuatkan sisa darah di tubuhku" Aku mendikte-Nya kah?
Aku berlutut, kulepas tali dari peti, hati-hati sekali, seakan peti itulah nyawaku. pernah kau lihat salju di atap-atap rumah di daerah dingin di musim salju? begitulah peti itu, saljunya adalah debu. Aku tak mampu melihat tembus bahkan meski hanya pada permukaan peti itu.
Aku mengusapnya perlahan, hati-hati sekali, seakan peti itu adalah hidupku.
Seukuran manusia, tapi peti itu bukan peti mati Kau harus tahu itu. Ukurannya persis memang.
Aku telah selesai dengan debu yang menutupi seluruh permukaan peti. Peti itu berwarna coklat muda, mungkin kemerahan, jika saja aku tak mengidentikkan merah dengan darah. Ada bintik hitam di setiap sudutnya. Penutup peti itu begitu kuat melekat, kau tidak akan mendapat udara atau cahaya di dalamnya. Penutupnya berpasak, dan pasak itu berkait. Aku tak mampu menjelaskannya, yang pasti penutup itu tak akan terbuka begitu saja. Tapi jika kau ada dan berada di dekat peti itu, tidak akan sulit membukanya.
Lihat! sebuah peti yang berkilat memantulkan cahaya di sekelilingnya, dan seorang lelaki berlumur darah, berkeringat, sarat dengan bekas luka, juga luka, aku.
Aku mendekatkan kepalaku diatas peti, aku mencium wangi. kau juga bisa menciumnya. Dua tanganku kusembunyikan di balik punggung. Jika begini, aku tak lagi hendak menyentuhnya dengan kedua tanganku, seakan peti itu lebih berharga bahkan dari nyawaku.
Perlahan kulekatkan keningku diatasnya. mataku berair, meneteslah ia di atas peti. tapi aku bukan menangis, Kau ingat itu?
Aku terpaksa mengusapnya. Lalu tengadah, ku ucap do'a:
"Tuhan, bantulah aku memahami semua ini..." aku mendikte-Nya kah?
Kutinggalkan peti itu lalu berdiri. Kutemui kembali dua asang mata. Sepasang berair, kian deras. Sepasang hampa, kian kosong. Sedari tadi dipandanginya aku dan peti itu.
Aku mendekat, kususun simpuh, perih. Kaki dan tubuhku berdarah, tak mudah berhatur sembah. Dua pasang mata itu, kugilir dengan mataku, Sepasang hampa, tapi teduh, kau bisa rasa hangat padanya, sekaligus sejuk. Sepasang sendu, tapi bening. Kau bisa rasa cahaya darinya. Ya, cahaya. Jika saja tak kudengar kata tanya.
"Kenapa?"
Sejenak aku diam.
"Peti ini untukku" jawabku.
"Ya, peti ini untukmu" itu saja.
Kembali hening, kau tahu masalahnya. Bukan peti itu, bukan masalah milikmu atau bukan, toh mereka tidak akan merebutnya, bahkan mungkin tidak akan membicarakannya. Tapi coba dengar kembali katamu sendiri.
"Peti ini untukku" kemudian cari apa persoalannya.
Dua pasang mata itu mendekat, disentuhnya wajahku, bibirku, jika kau lihat, seperti menangis, tapi aku bukan menangis, harus kau ingat.
"Kau...
Kau di sini..." Kulihat senyum.
Jika Kau tahu, selalu butuh energi untuk sebuah aksi ataupun reaksi.
Sebuah peluru yang lepas dari larasnya, selalu menyebabkan dorongan ke belakang, Kau bahkan bisa terjungkal karenanya, tapi peluru itu tak akan diam, dia akan tetap melesat, meski mungkin meleset.
Aku tak bisa bergerak, tiap sendiku mati, aku terbelalak, cahaya, cahaya....
Di sepasang mata yang kosong aku berteduh, sepasang yang lain memberiku cahaya.Aku berdiri, darah dan luka tak lagi kurasa.
Aku menangis sejadi-jadinya. Isak dan sedu sedan kutumpahkan, kupeluk dua pasang mata sekuat lenganku.
"cukup, tangismu, Nak....."
Seakan menyadari sesuatu, kudekati peti itu. kini Kau akan tahu isinya.
Kulepas kait, lepaslah pasak yang mengunci penutup peti itu. Aku membukanya, sebuah anak panah berlumur darah, sebilah amarah, stangkai bunga, sebungkus kesombongan, dan sebotol air mata. Seakan menyadari sesuatu, aku menutup kembali peti itu.
Kembali kutemui dua pasang mata. Aku masih begitu rindu jika Kau tahu. Lama sudah sangat. Kuraih jemari mereka. Dari sepasang mata,  kutelusuri otot -otot di jemari, tak lagi sekokoh dulu, barangkali waktu telah mengajaknya merenta.
Dari sepasang yang lain, jemari itu masih halus, masih lembut. Darinya mengalir kasih, digenggamnya jemariku kuat-kuat. Dari sepasang mata itu mengalir butir-butir bening.
Aku tak lagi suka jika Kau tahu. Jangan penuhi mataku dengan air, Ibu. Aku tak ingin larut dalam haru, aku tak suka. Kusapu air dari sepasang mata itu. Aku sendiri tersedu, kebasahan.
Genggaman ibu di jemariku kian kuat. Jemari itu tak lagi mungil, tapi itu bukan jemari yang berbeda. Waktu yang telah menguatkannya, menumbuhkan bulu-bulu lembut, menguatkan ototnya, memperbesar tulangnya.
Jemari  itu, telah dihalaunya puluhann anak panah, digalinya batu, digenggamnya sebilah amarah, menebas tiap asa yang tumbuh di tanah seberang. Ditaburnya berbungkus, berkarung keangkuhan, dan pernah digenggamnya setangkai bunga. Terakhir, diseretnya sebuah peti.
“Kau penuh luka, berdarah…”.
“belum seberapa, aku akan pergi, nanti. Terlalu nyaman di sini.”
“Lihat dirimu, kau terlalu muda.”
Kulihat air matanya mengalir, bening. Sebening kasih yang tak pernah kering darinya. Aku ingat kali kecil di tepi hutan.
Aku tersenyum.
“Aku di sini, Ibu.”
Dipeluknya aku, begitu kuat. Hingga aku hancur berderai laksana kembang api. Aku meledak sendiri, bunga apiku menyentuh langit-langit rumah ruh. Kau tahukah rasanya bahagia? Aku telah begitu merindu pertemuan ini, hingga bahkan aku lupa  pada rinduku.
Aku beringsut, melompat, ada sesuatu dalam otakku. Kali kecil itu.
Aku berjalan, rerumput bertemu luka di kakiku, aku tak peduli. Kali kecil itu berbatu, deras, dingin. Sedikit ke hulunya, kau bisa temukan air  terjun, di bawahnya biasa anak-anak kampung ini mandi.
Aku mendekat, dingin, merinding. Kusentuh, aku gemetar. Luka itu bertemu air, perih. Dingin, kupeluk tubuhku sendiri, kupeluk aliran air yang jatuh menghujam tubuhku. Aku menggigil, kebasahan. Perih, luka itu bertemu air, kemudian sejuk. Aku baru saja melewati permulaan itu.
Aku meloncat, bersegera kepada sejuk. Kurasakan terecap-terecap di sekujur tubuhku. Perih, sungguh. Ingin kuluruh keping-keping darah yang mengering. Perih, sungguh. Kutahu.
Luka ini akan sembuh.
Luka ini akan sembuh.
Kurendam jasadku di beningnya kali kecil ini, di antara bebatuan legam nan kokoh.
Debu, darah, tanah, luruh sudah. Aku bangkit. Kubelitkan handuk di pinggangku. Aku melangkah di sisi kali. Kunikmati sejuk, sore dan sepoi. Dadaku berdarah, aku mengusapnya.
Kau bisa lihat langit sore. Ketika mendung membungkam matahari dari ceritanya pada bumi. Matahari masih berisyarat, cahaya memberkas di setiap sela mendung. Tidak letih. Jauh di bawahnya, di sini, aku berjalan di pinggir kali. Batu-batu di jalanan ini disusun untuk menerima setiap pijakanmu di atasnya. Rerumput yang tumbuh memberimu wangi. Di satu sisi Kau bisa segera melompat ke aliran air di kali yang bening itu, di sisi yang lain berjajar pepohon, bermacam, besar, tinggi, kokoh.
Dedaunnya terkadang jatuh ketka beberapa ekor burung terbang meninggalkan ranting yang kemudian berayun. Dedaun jatuh ikuti sepoi, ditabraknya wajahku. Bukan, ini seperti sentuhan bidadari. Kau tahu aku tak mungkin menyamakannya dengan belaian ibuku.
Jika jalanan ini rata, mungkin aku akan bersepeda melewatinya, bersama ibu, menangkap cahaya senja. Sesekali berhenti, biarkan dedaun turun, jatuh, melayang, indah, hingga sampai ke tanah, menjadi tanah.
Sesaat aku berhenti, kurenungi aliran air di kali. Padanya telah kuhanyutkan bekas darah, tanah, dan debu kering dari luka-lukaku. Ya, padanya akan sirna luka. Tiba-tiba di kepalaku ada sesuatu, peti itu.
Peti itu untukku. Ya, untuk kuikutkan pada air yang mengalir di kali ini. Aku telah lena pada peti itu, dan lupa pada makna isinya.
Aku telah lalai oleh warnanya yang telah membuatku lena bahkan saat pejam. Aku tersihir oleh bintik hitam di setiap sudutnya. Aku terlalu sibuk dengan kait yang menahan pasak yang mengunci peti itu dengan rapat, kuat. Aku terlalu rindu, wangi yang kuhirup adalah setangkai bunga di dalamnya. Aku terlena pada bunyi, tiap kuketuk tepinya dengan jari.
Aku bergegas, pulang.
Di pintu, sepasang mata ibu menangkapku, menangkap luka di dadaku.
“Tak semua anak panah itu dapat kuhalau, ibu.”
“Aku baik-baik saja.”
“Luka ini akan sembuh.”
Aku masuk. Di bilik aku berkaca,.
Kau masih sangat muda.
Kau masih sangat muda.
Aku keluar dari bilik, dua pasang mata itu bahagia, jika Kau tahu. Penuh cahaya, penuhi hatiku dengan cahaya. Mataku berair, kali ini aku menangis, Kau boleh bilang.
Untuk pertamakalinya setelah berpuluh tahun.
Aku berlalu, jejakku berbunga, nafasku berbunga, pandanganku berbunga, hatiku penuh bunga.
Dengan bahagia, kuangkat peti itu di pundakku. Aku ke kali. Di sebuah batu besar, kuletakkan peti itu di depan dudukku. Kulepas kait, kucabut pasak, kubuka peti, semerbak itu tak hilang.
Aku diam. Tersenyum tidak, tertawa tidak, menangis tidak.
Aku terduduk di dekat peti itu. Perlahan kulepas kait, kucabut pasaknya, peti kubuka, semerbak itu belumlah hilang. Wangi. Sekejap bahagiaku terhenti. Aku belumlah lupa. Pemberi peti ini seorang gadis. Aku begitu ingat. Dengan tangis diberikannya peti ini padaku, tanpa pesan, isyarat, apapun.
“maukah menerima ini untukku?”.
Aku diam.
“aku mohon dengan sangat…”.
Aku diam.
“untukku…”.
Aku diam.
“untuk lebih baiknya, tolong.”
Aku masih tak beranjak. Aku tak mampu membaca isi hatinya, ini sakit jika kau tahu. Peti itu berat sangat untuk kubawa. Aku melangkah, dengan amarah ku bawa peti itu di pundakku. Gadis manis menangis. Aku tahu bukan ini inginnya. Tapi bagiku waktu itu, itulah maunya. Maka untuknya, biar ku bawa peti itu sejauh-jauhnya, aku belumlah tahu kemana.
Kini aku di sini, di tepi kali ini, dengan jawaban yang berjejal di kepalaku, berhimpit-himpit dengan tanya jika Kau tahu.
Aku menangis, bukan, ini hanya isak. Bagaimana tidak, di sini, di tempat kembaliku dari penat, dari luka, dari perih, dari letih, ku dapati binar di dua pasang mata, cahaya itu berpendar.
“Akan kau temui kelak, sebentar lagi saja, dan Kau akan mengerti.”
Sebentar lagi saja, kenapa aku tak bisa memaknainya demikian? Barangkali aku tergesa dalam ketidak mengertianku…
“Ya, dan ketergesaanmu memberi jalan pada iblis menguasai hati dan fikiranmu. Itukah maumu?”
Kau tahu jawabnya.
Aku tersedu, ingin kupeluk. Siapa? Peti inikah?
Jauh, jauh, di sebuah pelataran sunyi, gadis itu menangis, di depan berdirinya sebuah altar persembahan dari batu. Ia menangis, untukku, jika kau tahu. Telah dihabiskannya kata, air mata, dan tiada yang didapatinya, kecuali jawab atas tanya tentang kehendak, niat, kasih sayang, sandaran, dan dua pasang mata yang ketika itu aku sendiri bahkan lupa.
Hari ini, sebuah persembahan akan disaksikan langit. Dari sudut hati seorang gadis, sebuah pembuktian atas cinta yang tak terbatas. Bukan untuk apa, siapa, atau mengapa. Tapi untuk kebaikan, dan untuk persembahan itu sendiri.
Di altar itu disusunnya rindu, disusunnya cinta, disusunnya angan, disusunnya sisa keping luka.
Telanjang lalu disusunnya doa, untukku. Maka ia melebur dalam pembakaran yang tak pernah ia tahu bagaimana kelak? Mungkin ia tahu, mungkin juga lupa, mungkin marah, mungkin letih, mungkin tak mengerti, mungkin lena, mungkin indah baginya, mungkin… mungkin saja.
Aku di sini, di tepi kali, di sisi peti ini, menyaksikan jelas prosesi itu dalam pelupuk mataku yang telah basah.
Ini aniaya jika kau tahu.
Bukan, ini bukan urusanmu.
Tapi aku… upacara itu untukku jika Kau tahu.
Lalu Kau siapa kah?
Ya, aku siapa…. Terimakasih.
Aku menangis, maaf, aku ingin menangis.
Aku kembali kepada petiku. Di sini akan ada upacara. Aku tak tahu untuk apa, siapa dan mengapa.
Sebilah amarah, kusarungkan, kembali ke dasar peti. Sebuah anak panah, kupatahkan mata panah itu, di tengahnya, menjadilah ia tiga patahan.
Tak akan kau lukai siapapun lagi, kubilang.
Setangkai bunga, hampir layu, wanginya tak  pernah hilang. Kurebahkan di antara yang lain di dalam peti. Sebotol air mata, kusiram isi peti. Sebilah amarah berkarat, anak panah itu melapuk, dan bunga layu, wanginya tertahan, tak lagi diacuhkan udara. Dan sebungkus kesombongan, kutabur dalam peti, mengeras, begitulah sifat aslinya. Keras sangat, isi peti menjadi batu, tak lagi wangi.
Kututup, berpasak, berkait. Aku tengadah, kujemput bahagia yang terhenti tadi sejenak. Kusertakan dalam doa. Bahagia ini untuknya, untuknya, untuknya.
“Tuhan, bahagia ini untuknya” Aku mendikte-Nya kah?
“Aku memohon, Tuhan. Bahagia ini untuknya.” Kurasa aku tak lagi memaksa.
Dari sini, aku ingin bicara, padanya, andai saja ia dengar.
Maaf, telah kutahu, peti ini bukan untuk memberatkanku, itu maksudmu. Hanya saja dunguku telah bercampur amarah, tapi kini telah kutahu untuk apa peti ini kau berikan padaku.
Maaf, tak cukup.
Terimakasih,
Juga belum cukup.
Telah Kau berikan cahaya dalam gelapnya relung batinku, bukan, hanya kau tuntun aku pada cahaya. Telah Kau belai tepian rinduku pada pertemuan abadi, membuatnya bergetar, telah Kau habiskan kata dan air mata untukku. Telah Kau tawarkan seluruh hidupmu, untuk bersamaku.
Aku diam.
Belum cukup, telah Kau benturkan tubuh ringkihku di bebatuan waktu itu, biar aku sadar fikirmu. Telah kau sebut berulang-ulang rindu. Tak juga cukup, maka Kau serahkan peti itu untukku, dan terserah, katamu. Sepergiku, pagi buta kau siapkan darah, Kau ke pelataran sunyi. Air matamu beku. Kau berdiri di bibir altar, Kau susun persembahan, telanjang, berdoa, dan Kau leburkan tubuhmu dalam pembakaran itu, untukku.
Aku menangis, tapi untuk apa?
Aku berdiri, riak air di kali membawa peti itu ketengah, mengikut arus, ke muara, dan entah ke mana.
Sungguh, aku ingin mengganti doa yang Kau ucap, yang mengantarku sampai di sini, pada kemengertian yang akan menebus luka dan perihku, dengan cahaya, kutahu itu. Maka bahagia ini untukmu.
“Tuhan, bahagia ini untuknya, untuk cinta, rindu, air mata, doa, dan keikhlasannya pada pembakaran itu. Untuk rindu yang tak akan berbatas. Engkau akan mengganti semuanya untuknya dengan kehedak-Mu. Dan di sini, aku akan rindu, pada-Mu.”
Aku pulang, tak lagi kurasa bahagia itu. Telah ku hanyutkan di kali, untukmu.
Kutemui dua pasang mata, masih bercahaya, masih bahagia, itu cukup, untukku.

Karena rumput tetangga lebih hijau. (5)

Saya pun bercerita pada istri, kesenangan sesaat saya, ke-nelangsa-an saya, dan itsar! *gedubrak.. Istri hanya tersenyum karena kekonyolan i...