Jumat, 27 November 2009

bingung ane ngasih judulnya. T_T

afwan sebelumnya ane mau pinjem "nulis"nya AKP Aneshusen. nyontek nggak, nggak nyontek juga nggak, hehe.
lumayan buru-buru, ane masih kebagian fatihah pertama-nya imam, isya malam itu.
emosional nggak, nggak emosional juga nggak. di samping ane, (pas kali di samping ane di shaf itu), ikut bershaf 2 bocah kira-kira 4tahun & 6 tahun. ini kali ke dua kami bershaf bertiga berdekatan. si bocah yang lebih kecil yang paling dekat sama ane, sepanjang fatihah, seringnya godain abangnya di sampingnya, ngajak ribut meski sambil sholat gitu.
dan itu kali kedua formasi barisan kami macam itu. bakal ribet lagi ini. ane tebak, dua reka'at ini, bakalan khusyuk nggak, nggak khusyuk juga nggak.
tahukah antum kenapa demikian? sebabnya adalah setelah al-fatihah, meski bolak-balik ngajak ribut, ada semacam telinga tegak di sela bacaan Qur-an sang imam. kali itu, imam memilih al-Insyiqqoq. yang ane belum apal-apal kali... (hehehe)

waidzaa quri-a'alaihimulqur-aanulaa yasjuduun....
 

jeda sesaat itu sedikit saja lebih lama dari jeda ayat-ayat sebelumnya.

balilladziinakafaruu yukaddzibuun. ayat 22 ini bunyinya lebih dulu ane denger dari sebelah ane, dengan suara khasnya balita. sebelum dari sang imam. kemudian, ane mau nangis... ini bocah 4tahun, boss. antum ampir seperempat abad. ik.. hiks-hiks...

raka'at kedua, sodara kecil ane tak lagi meribut, lebih asyik ngeduluin bacaan imam kayaknya... ^_^
hati ane makin teriris, antum tahu?


Allahumma, yaa Allah, ampunilah hamba-Mu ini, dan berikanlah kepadaku anak-anak yang sholeh-sholehah....

menetes saat sujud, tersamar.



Sabtu, 21 November 2009

cemburu.

ba'da isya, ane duduk di dekat pintu masjid. bicara-bicara dengan beberapa teman. ane males balik. rencananya mau ke satya wacana, tapi nanti dulu ah...
"ya sudah, ane duluan ya..."
"silahkan, ane di sini bentar." ane tambah sedikit senyum.
"antum ada yang di tunggu? ane tinggal ya..."
"silahkan, ane bentar lagi..." senyum yang sama untuk orang yang berbeda.
"antum, nungguin mas(......) ya?. ya sudah ane duluan ya, belum makan... ^_^"
"iya akh, jangan biarkan sengketa itu berlangsung. hehe"
ane yang tidak bermaksud nungguin mas yang dimaksud, melongok ke dalam, ternyata mas itu memang masih di dalam. ah, nggak ada salahnya ane tungguin. betul tak?
ane pencat-pencet tombol handphone buthut yang luar biasa keras(kadang-kadang bikin kesal).
satu-satu jemaah kembali beranjak meninggalkan masjid. ane masih sibuk bertengkar dengan keypad badung ane. semakin sepi rasanya, ya. sepi.
ane kembali melongok ke dalam.
... subhanallah....
saudara ane itu tinggal sendiri kini. ane sudahi pertempuran sengit ane dengan tombol-tombol keras ponsel ane. masuk kantong.

lihat kawan, duduknya melengkung, nelangsa betul merunduknya itu, sekaligus nikmat betul ane lihat, muncul cemburu yang sangat.
dua telapak tangannya tengadah, tak menangis, tapi cukup membuat ane cemburu, cemburu sangat. manja betul sodara ane ini sama Khaliq-nya.
gharin masjid memadamkan lampu-lampu terang dan menghentikan bising baling-baling di langit-langit masjid. menyisakan sunyi, dan remang-remang dari beberapa lampu pijar di sudut-sudut masjid.
sungguh, ane tak terlibat dalam percakapan mesra itu, hanya menyaksikan dari sini tanpa mendengarnya.

Allahumma, ya Allah, izinkan hamba mengenal-Mu, ajari hamba untuk bersyukur dengan layak, ajari hamba untuk beribadah kepada-Mu dengan pantas.......
T_T

Jumat, 20 November 2009

nyolot

Marjo melepas tali rakit di kali kecil itu, menaikinya mengikuti arus, membawa 3 balok getah di atas rakit. Kali ini akan bertemu titi nantinya, tempat marjo akan menimbang getahnya, menerima bagiannya, dan pulang.

Jumat, 16 Oktober 2009

KANGEN.

Malam, jam Isya, ane sholat di sebuah mesjid, jadi makmum. Ane sedikit terlambat, Imam sudah takbir, bahkan sudah memulai fatihah.
Hmm, dibelakang jemaah pria yang bershaff lurus dan rapat itu, anak-anak tak ribut, membuat shaf sendiri kira-kira di shaff ke-3. padahal shaf ke-2 masih kosong, ane yang sedikit telat saja masih bisa dapat shaf depan.
Ah!! ane kudu lekas gabung ini...
usai salam, ane baru ngerti, ternyata shaf ke-2 yang tadinya kosong sudah hampir penuh, anak-anak itu....
hebat...
ane sudah tengadah, banyak minta meski tak khusyu'.
tiba-tiba ane terkejut, seorang bapak di samping ane, jenggotan, penampilannya sejuk sangat, di serbu tiga bocah dari belakangnya, ane jadi buyar konsentrasinya, ane tadi doa minta apa, ya?
masih komat-kamit dengan rapalan yang udah ane hafal, ane tak kuasa menahan diri untuk tidak ngintip ke sebelah, (hehe).
hiks...
bertiga mengerubuti ayahnya yang tentu saja tak lagi khusyu doa melainkan senyam-senyum sama 2bidadari dan 1jagoannya.
Gadis manis 5tahunan (udah berjilbab lho...), cowok cerewet 3tahun (nggak berenti nanyain abinya apa saja), dan si mungil imut kira-kira 2tahun (ini udah jilbab-an juga...)

ane kangen sangat, doa sapujagad ane yang udah ane hafal bertahun-tahun terkontaminasi dengan bejibun permintaan dan pertanyaan pada-Nya...
hiks
hiks


Selasa, 29 September 2009

mengalihkan perhatian

saat masih14tahun, ane pernah menderita suatu penyakit. ada yang menyebut itu migrain, ada yang mengatakan ane perlu periksain mata, ada yang bilang penyakit ane adalah maag akut. ane sendiri yakin penyakit itu adalah: sakit kepala (ndak mudeng, ngeyel: kan ane yang rasain!?).
saat itu ane masih SMP, seringnya penyakit itu kambuh saat ane belajar di sekolah, di bangku dalam kelas...
jika penyakit itu akan kambuh, ane bisa merasakan tanda-tandanya: ada yang berpendar dalam pandangan ane, tidak hilang meski ane terpejam.
jika sedang kambuh, ane menjambak sendiri rambut ane, membenturkan kepala di meja belajar, tidak berani membuka mata (membuka mata= menambah pusing), dan merasakan mual luar biasa.
berkali-kali ane harus diantar pakguru ke rumah,ane tidur sebentar, setelah penderitaan itu sedikit berkurang, meski tak lagi sakit, kepala ane jadi sensitiv, jika terguncang atau terbatuk saja, ada yang berdenyut dan sangat menyakitkan di kepala bagian belakang.

di SLTA, ane tidak lagi pernah mengalami penderitaan serupa. tapi suatu kali ane teringat dan mengingat-ingat penyakit itu....
hmmm.. dasar bocah badung. ane ingat. dulu, saat seringnya penyakit itu kambuh, hampir tiap malam, ane begadang, jadi satu-satunya anak sekolah di pos ronda, hingga larut, bahkan sampai dinihari. ane menyimpulkan penyakit itu muncul adalah karena kurangnya jam tidur ane, ane pun bertambah hati-hati dengan jumlah jam tidur ane, sayangnya kadang ane terlalu berhati-hati, hingga kemudian beberapa orang bertanya: "betah sekali kau tidur???!!!" hehe.

cerita berlanjut, ane sudah selesai SLTA. kini ane tinggal di kota, di tempat kost, salah seorang teman mengeluh kepalanya sakit, teman ini minta supaya di pijat di lengannya, meringis, sakit sangat, sambil dipijat, sambil meringis, teman ini cerita, katanya ia kurang tidur semalam. benar, batin ane, kurang tidur dapat menyebabkan sakit kepala. satu pelajaran ane dapat, ada salah satu otot di lengan yang jika kita sedang skit gigi atau sakit kepala, kemudian otot itu di pencet, rasanya akan sangat sakit luar biasa. tapi kemudian, setelah dilepas, rasa sakit itu hilang, beserta sakit gigi atau sakit kepala yang sedang diderita.
makin banyak saja korban yang ane pencet, menderita sekali mereka, mata terpicing selama dipencet, kaki nendang-nendang, wajah pucat, mulut terkatup rapat, semua ekspresinya menjelaskan: ini sakit, bayu!!!. tapi begitu usai, mereka bertanya heran:"kok hilang sakitnya?"
. ane pun bertanya, mengapa demikian?

seringnya jika kita dirundung persoalan, segenap fikiran kita tertuju pada persoalan tersebut, makin difikir, makin pusing. anehnya, bukan mudah melupakan rasa sakit di gigi, atau denyut di kepala. maka kita butuh pengalih perhatian, butuh rasa sakit yang luar biasa buat melenyapkan rasa sakit yang lain, butuh pahit yang lebih pahit buat mengingat rasa manis, butuh malam yang lebih gulita buat merenungi dan menerangi rongga jiwa kita yang kelam.

sebuah tulisan yang ane pernah baca (lupa dimana),
kita mungkin saja melakukan kesalahan, meninggalkan lubang di hati orang lain, bisa saja lubang itu takkan pernah tersembuhkan, begitupun jika kita terluka. tinggal bagaimana kemudian kita tidur, lelap, dan terjaga, dengan senyum, tulus.

indah sekali potongan doa yang di tunjukkan untuk diucapkan jika terluka, sakit, menderita atau apa saja sejenisnya:
"ya Robbi, ijinkan hamba memahami semua ini................."
"ya Robbi, ijinkan hamba memahami semua ini................."
"ya Robbi, ijinkan hamba memahami semua ini................."

ya, jika ane sudah faham akan maksud dari luka yang mengalirkan darah, rasa yang menggulirkan butir bening dari sudut mata, maka semua itu bukanlah penyebab dari kesedihan, pun kegelisahan.

Minggu, 27 September 2009

Percakapan 1menit 6detik

sore, langit menjingga. ku temui hati, rasanya sudah lama sekali...
aku begitu rindu tiba-tiba, dipandanginya matahari turun perlahan, hampir terbenam.
aku menunguinya, tepat di belakangnya, aku bimbang tiba-tiba...
ia berbalik, matanya berair, aku terkejut, sungguh. wajah sedih itu berubah, merah, padam.

"kau adalah batu."
aku diam, gemetar...
"aku menggumpal di ronggamu, tapi kau tak mendengarku, kau hanya mengikuti instingmu. kau.... kapan terakhir kau menangis?"
"maafkan aku..."
"tak perlu. tak ada yang perlu dimaafkan, teruskan saj ayun kakimu. kau tak butuh hatimu."
"aku buta tanpamu"
tersenyum, "tidak. buka saja matamu."
"tapi telah kuawali langkahku atasmu, denganmu..."
"ya, kemudian kau tinggalkan hatimu, kau terlalu dekat dengan instingmu" deras kian mengaliri pelupuk matanya...
"kita akan selamat, bukan?"
"jika saja, jika saja kau mau tetap bersamaku."
"kau tahu ini takkan mudah. aku mohon.... tetaplah bersamaku.."
"kau tahu, bahkan aku ada dalam tubuhmu, kaubiarkan hatimu terhijab darimu."
disapunya airmata, aku sungguh takut..
"maafkan aku...."
"kau tahu..."
aku terjatuh, berlutut, sendiri, gemetar, bulir bening menimpa kering tanah. basah.

Kamis, 03 September 2009

JUALAN KORAN

Judulnya memang jualan koran, tapi suwer! nggak ada aktifitas jualan, koran ataupun yang lainnya di sini.
dudul, waktu masih duduk di bangku SD & SMP, ane belum pernah ke kota Sama sekali, Kota, dan seabreg cerita yang membosankan tentangnya hanya cerita, yang didengar, dibaca, atawa di saksikan di televisi hitam putih milik kepala desa yang kira-kira 200an meter jauhnya dari tempat tinggal ane.
  Salah satu yang kemudian bakal ngisi tulisan ini adalah tentang jalan raya(di kota), persimpangan, lampu lalu lintas, dan gelintir manusia yang seringnya menghiasi persimpangan, di lampu merah itu. Jualan koran, bendera(khusus pas 17an) atau mainan anak-anak, special position: minta-minta.
  Pas suatu kali ane kebetulan muncul di Kota, ane liat sendiri, dengan mata di kepala yang udah gratis di kasih oleh Alloh SWT. Mereka benar-benar ada, sodara-sodara ane yang hidup dan kehidupannya banyak menghirup asap kendaraan bermotor yang berenti di traffic lamp. Gimana rasanya kira-kira, Sobat? silahkan renungi.....

 Suatu kali: "mengganggu stabilitas lalu lintas"
tudingan yang tepat sekali menunjuk dengan tidak sopan batang-batang hidung sodara-sodara ane itu, yang jelas: tidak sama sekali terdengar oleh mereka karena bunyi perut mereka lebih dekat, begitu dekat, begitu nyata, bukan begitu?
 seperti kentut (maaf), tak ter dengar, tapi efeknya sangat terasa. Yang terjadi kemudian: Ciduk, Angkut, Tangkap, terjadilah sebuah agenda kebaikan: pembinaan.
Amiin.
 Tapi gimana ya rasanya? kira-kira? nanti kita renungkan menjelang tidur, mau?

Menjauh sedikit dari sodara-sodara ane itu, ane mau cerita sikit(sedikit) sebuah kenikmatan, keindahan, yang masih ngingetin ane sama sodara-sodara ane di Traffic lamp.

cerita dimulai dari sini.


Sore itu ba'da ashar (belum lama ini) ane ketemu seorang sahabat,
"subhanalloh, cerah betul? mau kemana Mas?"
"nambah cerah yang antum bilang cerah tadi. Mau ikut?"
ane ikut, kami menuju sebuah toko buku/taman bacaan di sebuah simpang dekat sekali dengan Traffic Lamp, ane belum inget sama sodara-sodara ane tadi, karena kebetulan di simpang lampu merah ini nggak ada yang ngapa-ngapain (jualan koran de-el-el).
di TB itu ane diajak masuk, di sebuah ruang khusus, ane lihat beberapa lelaki mbungkusin makanan(bukannya bulan puasa?). ah kita lihat saja nanti. mereka jualan makanan buat buka gitu? atau ada acara? sudah kita lihat saja nanti.
"buat apa ini, Mas?"
"antum ntar bantu ya..."
"bantu apa?"
tunggu punya tunggu, makin dekat waktu berbuka...
"yuk, berangkat"
kemana ya?
ternyata masing masing bawa kantong plastik, berisi kotak-kotak kecil, berisi makanan kecil, ternyata mau dibagi pas buka di jalan raya(di lampu merah itu,) untuk pengguna jalan raya yang waktu berbuka masih di jalan. ini perdana buat ane, ane nggak mau ngambil kantong plastik itu, ane cuma bawain punyaan si Mas, ane yang bawain, Mas itu yang mbagi ke orang-orang...
2kali lampu merah... teeeeeeet waktunya buka, kita minggir, menepi, si Mas membuka botol bekalnya, menyerahkannya buat ane.
"berbukalah, segera?" senyumnya menawan bos, punya kakak perempuan aja, tak comblangin sekuat tenaga pasti. hehe.
ane berbuka, segera, segera menyerahkan botol itu buatnya. kami membuka 1 kotak, isinya 2biji kue, pas.
lampu merah lagi, ane penasaran, ngambil 2kantong sekaligus(yang satu ane kasih ke sahabat ane itu) kali ini ane beraksi sendiri, di sinilah ane ingat sama sodara-sodara ane, tapi masih saja belum terbayang rasanya...
 1periode lampu merah, kotak-kotak kecil habis. Dari seberang sahabat ane memberi isyarat, mengangkat kedua tangannya ke telinga.

"sholat...."
kami berjamaah di TB tempat kami berkumpul tadi.
usai sholat, sahabat ane ngajak balik ke Camp. di jalan:
"gimana rasanya?"
"seru, Mas... kalau sempat, ane boleh ikut lagi?"
"kalau Antum mau bantu tiap hari juga boleh..." senyum lagi. heee
"sejak kapan pula ada acara gituan Mas?"
"tiap tahun juga gitu, siapa yang sempat saja..."
"jadi siapa biang keladinya Mas?" (maaf kadang ane memang kurang sopan..)
Saabat ane bingung: biang keladi?
"maksud ane yang ngatur semua tadi, dalam rangka apa gitu?"
senyum, jawaban untuk pertanyaan pertama, sepertinya begitu, karena sahabat ane itu langsung jawab pertanyaaan ke-dua:
"tadi ane nawarin antum ikut kan udah ane bilang buat apa...
yang paling penting, mencari ridho Alloh SWT"

amiin... dari sini sampai Camp kami, ane coba rasain lagi sodara-sodara ane di traffic lamp, dengan agenda yang lain...
seperti judul tulisan ini misalnya.

Jumat, 14 Agustus 2009

back to home

beberapa hari yang lalu, tanpa agenda pun rencana bahkan tak di harapkan(???), akhirnya, ane balik kampung, pulang. Tiba-tiba rindu mencuat memukul habis kantuk yang menggelayut di mata.
pagi, 07:30, sepulang dari tempat ngais rezki, ane dah siap menghambur di kasur, melepas letih, tiba-tiba drrrrrrrt-drrrrrt, henpon butut di meja bergetar hebat (hehe)
"nggih, mak?"
"bapakmu."
"pripun?"
"getih-e mili wae..." (darahnya masih mengalir saja...)
"dipun beto teng rumah sakit malih mawon..." (dibawa kerumah sakit lagi saja)
"iki wis karo pak-likmu, di gowo rono" (ini sudah sama pamanmu, dibawa ke sana)
"make mboten nopo-nopo?" (mak nggak pa-pa?)
"yo ra po-po, lha koe ra muleh?" (nggak pa-pa, kamu nggak pulang?)

sore kemarinnya ane dikabari bapak kecelakaan, mak bilang nggak pa-pa, sudah di bawa ke RS, pun sudah di pulangkan lagi, tulang di atas ibu jari kaki Bapak meleset, lari dari tempat semestinya. tapi dari bekas jahitan itu semalam tak berhenti berdarah. pagi, bapak dibawa ke RS lagi.
ane bergegas, ke terminal, menyebut nama sebuah kota "S", ane di bawa ke sebuah bus, nggak liat-liat, ane naek aja, rindu, sungguh, ngantuk, di bangku itu ane langsung ketiduran, hingga ketika ongkos di minta, ane harus di bangunin dari tidur yang sangat nyenyak itu, ane kasih dua lembaran rupiah, ane di kasih balikan.
"sampai di "B" ya bang..." katanya
astaghfirullah, ane salah di naikin bus, kadung, ini udah kejauhan buat turun, ane itung-itung ane bakal sehari lebih lama di perjalanan dengan rute ini...
Ya sudah lah, jadilah perjalanan ini panjang dan....
menyenangkan. begitu mestinya.
sampai di "B" ane langsung nyari jurusan "S" hampir saja lewat, mujur(syukur ding), ane masih dapat bus terakhir, begitu kata petugas di loket. nginep semalam di"S",
pagi, ane sudah di bus menuju kampung halaman, dalam bus mak nelfon lagi,
"piye, iso muleh?" (gimana, bisa pulang?)
"insyaAllah mak,"
"kapan?"
"mangke menawi sampun angsal ijin kulo kabari" (nanti kalo udah dapat ijin saya kabari)

kurang lebih empat jam kemudian ane sudah bertemu mereka. pelukan pertama berhasil direbut nenek, diciuminya pipi ane seperti bayi. Maaf ya, nggak usah boong, ane rindu betul dengan ciuman simbok(sebutan ane buat nenek, meski sebenarnya sebutan ini adalah sebutan seorang anak sama ibunya yaitu sebutan emak pada nenek). dan dipeluk emak, ini betul yang ane rindui bertahun-tahun. biar jenggotan udah, diliatin adek &sepupu, biarin.

tibalah saat sakral itu, ane nemuin bapak yang terbaring di atas tempat tidur, ane raih jemari kokoh itu dan menahannya lekat-lekat di kening ane, lihatlah sepasang matanya yang tak lagi sebening mata balita, tajam menusuk kantung-kantung air mata yang sejak tadi kutahan.

sungguh, ane begitu rindu telapak tangan halus belaian emak, tapi tak pernah hilang hangat pelukan bapak saat hujan, ketika jemari mungilku (dulu) begitu nakal bermain di wajahnya. meski tak sependiam pak Seman (bapak si ikal andrea di belitong sana) tak banyak kata kudengar dari bicaranya. justru itu pesonanya, kadang ane yang justru cari perhatian dengan cara yang salah; menjadi bandel.

malam, listrik padam, tercipta betul suasana tempoe doeloe. oncor(obor) bambu tertancap di halaman depan rumah, dua lampu minyak berpendar cahayanya di sudut bilik bapak. beberapa tetangga datang, menanyakan kondisi bapak, menanyakan kabar ane yang lama tak terlihat.
ceritera panjang lebar, ane duduk di dekat emak, sementara bungsu yang dulunya kami rebutan emak, rebutan bapak, rebutan apa saja, musuh besar biang tangis, kini duduknya nggelayutin mas-nya. kami dengarlah cerita tetangga tentang bapak, kecelakaan itu. katanya bapak juga yang ceroboh, sore itu sepulang kerja, bapak berniat terus ke hutan mencari rumput buat ternak tetangga yang di peliharanya. di persimpangan,  tanpa sebelumnya kirim sms pun e-mail, bapak berhenti buat berbelok,  sebuah kendaraan melaju kencang dari belakangnya,  tanpa permisi, sepeda motor+pengendara-nya itu bertemu dengan bapak dan sepeda motor bututnya dengan cara yang tidak sopan di tengah jalan.
prakkk!!!! begitu kira-kira.

pagi, bapak ingin mandi, jadilah ane baby sitter buat bapak, menggendongnya ke kamar mandi, menyiapkan stand buat kakinya yang tidak boleh basah, menyiapkan keperluannya mandi, terakhir menggendongnya kembali ke tempat tidur, satu hal ane sadari, ringan sekali ane mengangkat tubuh bapak yang berotot (lantaran pekerjaannya yang banyak bertemu bebatuan). satu tangannya menggantung di leher ane, terasa betul ane menjadi sedikit lebih berarti, bukan lagi bocah bengal yang sering bikin emak nangis. sejurus ane sembunyi, menangis, sendiri.
"ane sayang sama bapak...."

Senin, 27 Juli 2009

ketelepasan

Kuhujam jantung dengan rindu,
Berakhir kering dari darah.
Aku menjerit,
sangkalku pada garis mengakhirkanku pada titik-titik.
hitam, kelam, melukis bola mataku di ujung malam.
bersih, halus, ikhtiarkan anganku pada seulas senyum.
bening, lembut, taburi wajahku dengan embun,
menetes dari sudut mata.
deras, bercampur sedu yang kulepas.
melepasmu di anak sungai.
terserah padamu ke mana pergi.
aku tepian, bukan ibumu.



                                  buat Marjo di hutan getah. tersenyumlah.

Minggu, 28 Juni 2009

bab 23. menggantikan bapak menggetah di hutan(bag.2)

mestinya bukan begini...

 Cahaya kekuningan menyembul di ufuk timur, sempurna matahari terbitnya menawarkan kehangatan. Hingar sholawat dari tape recorder telah hilang dari tadi. Sang imam berdiri sempurna, takbir dan mendirikan sholat dluha. Aku masih belum beranjak dari dudukku. Jalan mulai ramai oleh kendaraan. Telingaku menghangat.
  Kau boleh lupa pada persoalanmu sejenak, tapi ia bisa mendatangimu kapan saja, menekan kepalamu dari jantung, lewat urat-urat di lehermu.
  Aku bertanya, apa yang kulakukan di sini?
"Bapak mau ke mana?" Bapak tak berhenti berkemas ketika kutanya.
"Bapakmu akan ke hutan, Marjo" ibu yang menjawab pertanyaanku.
"Hutan?"
"Hutan getah di timur desa"
"di seberang jalan lintas raya?"
"belum, sebelum jalan besar itu"
"betul, Pak?" aku berpaling lagi pada bapak.
"iya, Jo, 3 hari yang lalu pak Marto menawari bapak, kebun adiknya yang di hutan getah timur desa sudah dua minggu tidak disadap. kemarin pak Marto kembali menemui bapak, kalau bapak mau, bapak bisa berangkat hari ini, atau besok."
"kebun kita?" bagiku keputusan itu adalah keputusan yang tidak mudah. butuh alasan yang sangat kuat buat seumur bapak menggetah di hutan itu.
"tidak ada masalah dengan kebun getah kita, Jo. tapi emakmu bisa mengurusnya. Bapak tidak mau mengecewakan pak Marto. lagi pula, di hutan itu hasilnya lebih banyak, meski hanya dapat bagian sebagai penggetah, jumlahnya hampir sama dengan hasil kebun kita yang semuanya buat kita.
  Aku memandangi ibu, penjelasan bapak tidak memuaskan, mak...
"lagi pula tidak lama, Jo, paling lama empat bulan."
baak melanjutkan ngepack perlengkapannya, akku mendekati ibuku.
"gara-gara yang marjo cerita sama emak kemarin, Mak?"
Emak tersenyum, beberapa waktu lalu, kepulanganku sebelumnya, kuceritakan gemerincing tambourine, seulas senyum, harapan. Aku duduk mencengkeramai emak, perlahan tapi jelas, mencoba membuka sebuah pintu ke alam gaib, menunjukkannya pada ibuku.
 Jika cerita itu menjadi alasan bapak engambil tawaran pak Marto, mungkin saja, tapi jika saja bapak tahu apa yang sedang kulewati ketika itu....
 Tapi tetap saja, dengan atau tanpa alasan itu, bapak berhak mengambil keputusan itu.


... mereka diam,keputusan untuk bapak mengambil tawaran pak marto adalah bukan urusanku, tidak masalah jika aku tidak boleh ikut campur mengenai hal ini. Tapi tentang aku meninggalkan pekerjaanku sama mas Prapto juga adalah sebuah keputusan. ah, andai saja mereka mengetahui apa yang sudah terjadi...
sekarang aku di sini, persoalan yang ingin aku tawarkan adalah apakah bapak yang akan mengambil pekerjaan itu, atau aku saja?
  "marjo ingin di sini buat sementara, Pak. jadi, kalau boleh, biar marjo saja yang ambil pekerjaan itu, bapak sama emak di rumah"
 Mereka akhirnya setuju dengan pendapatku, selain karena bapak yang aku tidak tega jika ia harus menginap di hutan, barangkali lebih karena aku butuh ini: sembunyi dari orang-orang, tak bertemu siapa-siapa, tak bicara dengan siapa-siapa.
 Matahari semakin tinggi, aku meninggalkan hentian antar kota itu, menyelinap di hutan. Hutan ini memang gelap, bahkan di pagi yang cerah begini pun cahaya tak mampu menyentuh permukaan tanah.
 Setiap langkah, aku terus bertanya, apa yang kulakukan? lari? dari apa? seperti ajal, kenyataan itu tak bisa dihindari, Kau tak bisa menyalahkan siapapun, tidak juga dirimu.
  Aku tiba di pinggiran kali kecil, mengikutinya sampai di titi. Sebentar lagi sampai di pondok tempat aku tidur, tapi sungguh, aku belum bisa tenang. di pintu pondok itu aku berdiri, belum masuk. mencoba mengurai perjalananku. kira-kira dua minggu yang lalu, aku memutuskan meninggalkan mas Prapto dan kesibukannya yang biasanya sedikit terbantu dengan keberadaanku di sana, mengunjungi teman-teman dan ternyata itu tidak mengurangi bebanku, hingga akhirnya aku pulang ke rumah, tempatku dilahirkan, menemukan sedikit ketenangan bersama mereka, bapak dan emakku. kini aku di hutan ini, sembunyi? bodoh.
  Aku masuk kedalam pondok, menyambar sebuah buku catatan tebal di atas dipan tidurku. Kubaca judul terakhir "mata luka senyum cinta"
( http://byurr.multiply.com/journal/item/4/Mata_luka_senyum_Cinta )

kubaca berulang-ulang. tak cukupkah ini?
aku tersenyum, perlahan kutahu apa yang kulakukan di sini. ku tutup buku catatan itu, meletakkannya di aatas dipan. aku melompat turun, menggores satu-persatu pohon getah dengan pisau takik yang tajam. meski sudah kesiangan, terlalu siang. Getah menetes perlahan, mengisi tempurung tampungan menanti penuh.



Sabtu, 27 Juni 2009

merajuk.

hari itu terik sangat, di sebuah desa yang indah, seorang bocah asyik bermain di teras rumahnya, hingga lewat seorang penjaja es krim. bocah berlari ke dalam rumah, merengek pada ibunya, tidak berhasil, seterik ini, dengan kondisi tubuhmu, dan eskrim yang itu, tidak mungkin ibu membelikannya untukmu nak. itu alasan sang ibu yang si bocah tentu saja tidak mengerti.
"fine!!" teriak si bocah, kembali bermain, rajuk dan kesalnya sungguh belum hilang.
sang ibu mendapati anaknya memanjat pohon jambu di depan rumah itu.
"turun nak, nanti bisa jatuh!" ini kesempatan, apa yang terjadi? si anak manjat makin tinggi.
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

Jumat, 26 Juni 2009

ada nggak ya?

"dari mana, Nduk?"
"ngaji, mas."
"bahas apa?"
"ikhlas"
"pasti seru, ya kan?"
si nduk(panggilan untuk perempuan yang lebih muda) tersenyum, manyun.
"mas..."
"ya?"
"di dunia ini, ada nggak ya orang yang benar-benar ikhlas?"

mendadak bingung, mestinya ane tadi nambah pertanyaan:
"Nduk, tadi waktu ngaji bahas ikhlas, sebenarnya ikhlas itu gimana, Nduk?"
ane keduluan pertanyannya, tentang keberadaan orang-orang yang ikhlas.
pertanyan ane urung, jawaban untuk pertanyaan ane urung, jawaban untuk pertanyaannya pun, urung.

ikhlas.............................................................................................................................

bonceng!!!!!

lagi, meloncat keluar dari belantara.
Kali ini pake motor punya temen, berangkat dari camp ketika matahari masih terang, berpakaian rapi, tanpa tahu bahwa ini yang akan menjadi masalah nanti sebentar lagi.
Melewati sedikit keramaian, sebuah "kota kecil", kemudian kembali menelusuri jalan tanah yang jika bersimpangan dengan kendaraan lain harus siap dengan sejenak penderitaan.
Keperluan selesai, motor dikebut ngejar maghrib bareng-bareng di camp. masih rapi, dan masih belum menjadi masalah.
Sampai di sebuah keramaian, sebuah lambaian tangan berusaha menghentikan ane. Biasa, langkanya kendaraan umum, menjadikan biasa di tempat ini, lambaian tangan menanti tumpangan. ane melambat, mulai muncul masalah. Kian dekat, muncul bimbang dalam hati ane.
 Pergulatan yang sangat dahsyat itu terjadi dalam sekejap.
 dan pemenangnya adalah....
ciiiiit! ane berhenti, seseorang kemudian duduk di belakang ane.
 "ke mana?"
 "ke kota." singkat.
perlahan motor melaju, ane mulai kacau.
 ane telah memilih, tapi kemudian masih saja ada ragu, sekuatnya ane menahan.
"biar saja!" hati ane mengeras.
"tidak menyesal?"
"tidak, tidak perlu menyesal."
"tidak takut?"
"tidak ada yang perlu ditakutkan. tnang saja."
"kenapa seakan-akan inginnya antum masih di belakang tadi dan ngebut saja melewati lambaian tangan seseorang yang kini di duduk di belakangmu?"
"ane tidak begitu, membiarkannya duduk di belakang ane adalah pilihan. berbuat baik."
percakapan tunggal itu terhenti, fikiran ane mulai berisi tentang seseorang yang duduk di belakang ane, semotor, selaju.
 Keras, sebuah pertanyaan muncul lagi, menguatkan ane.
"apa antum akan memberi tumpangan jika yang melambaikan tangannya itu sama rapinya dengan antum?"
"apa antum akan memilih untuk memberi pertolongan kepada orang yang antum sukai saja dan menolak permintaan orang yang lebih membutuhkan?"
"apa antum merasa lebih baik dari seseorang yang saat ini duduk di belakang antum?"

ane terus melaju. ane ingat-ingat lagi ciri-ciri fisik-nya, lelaki itu masih muda, sangat kotor, tanpa alas kaki. kotornya bukan karena pekerjaan atau barusan main kotor-kotoran, tapi jelas, kotornya adalah karena lama sekali tak dibersihkan, kaki, tangan, wajah, rambut, celana dan bajunya.

muncul lagi masalah ketika melewati keramaian, pasang-pasang mata. membuat ane ketakutan, tiap kali yang mereka lihat adalah di belakang ane.
diam sepanjang jalan. percakapan bahkan caci maki penuh di kepala ane. sulit, untuk tulus.

ane tidak tahu kapan terakhir kali anak ini mandi, bahkan ane tidak tahu jalan fikirannya, layaknya kita kah? atau sedikit berbeda?

di kota, ane kira anak ini tak akan meminta untuk turun, di sebuah persimpangan ane berhenti, jika tujuannya adalah "kota", ini persimpangan terakhir kesempatannya untuk turun, kecuali mau ngikut ke camp ane, dan itu jelas tidak mungkin.
"takkan kubiarkan!!!" hehehe

ane berhenti, laki-laki muda itu turun perlahan, sebuah cahaya seperti masuk keotak ane.
ditepuknya tempatnya tadi duduk beberapa kali(seperti hendak membersihkan).

dilipatnya baik-baik pijakan boncengan yang tadi dibuka dan diinjaknya sepanjang jalan,.

kemudian lelaki kumal ini mengucapkan terima kasih, fasih, dan sedikit senyum.
itu lebih dari cukup menyudahi berisik dalam kepala ane, dan mengatasi pasang-pasang mata yang mengerikan sepanjang jalan.

"yuuup!!" ane langsung ngebut lagi. maghrib bareng di camp tidak terlambat.

Minggu, 14 Juni 2009

sekuntum bunga untuk emak

purnama tak lagi sempurna,
kepul diam menhijabnya bagai cadar menghantar keindahan sempurna,
meski langit melukis badai entah di mana.
aku telah di sini.
membuka lembar demi lembar kitab ini.
sejenak hendak kuintip halaman usang itu.
aku mengikutinya perlahan. menikmati pendar pijar di ujung syaraf ingatanku.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;

Bagaimana kan kurengkuh dayung
jika masih tertambat tali di tepian?
Biduk menanti riak yang menggelitik
siap tuk laju kini atau nanti.
tak peduli langit melukis badai, atau arus membawa tanda.
hanya aku yang akan dihantarnya kemana kumau.
  Tepian itu taman, aku selalu berlarian, dalam asuhan.
kini hendak bidukkecil kurengkuh dayungnya.
di atas daun kutulis sebuah percakapan:

bunda: "biar Kau bawa suara jadi sunyi di sini. doa takkan henti bunda pinta. tapi telah khatamkah olehmu lukisan langit? Cemas bunda tertahan di muara, terapung di gelombang."
aku: "Kan kuikuti sketsanya, khatamnya bukan di sini, Bunda. KIni atau nanti, muara takkan tenang, gelombang tak akan diam. Kan kuraih cemasmu, ke dasar hati kuredam rintihnya."

     Tepian itu,....
sendiri sunyi di belakang bunda berdiri, selendangnya menghijab mataku dari pudar warna.
hati berbisik: " usung sesiram sejuk, tabur setangkup bakti, kelak kembali, boleh kau petik setangkai bunga, untuk bunda."

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

nak (punyaan Iwan F)

Sesekali keluar dari belantara. Sepanjang perjalanan menghisap debu jalan tanah yang terbakar matahari. Hendak turut barangkali dalam mobil penuh sesak penumpang yang kaca jendelanya tak lagi dapat ditutup sempurna.
sebuah nyanyian mas iwan mengingatkan betapa aku dulu begitu menyukai lagu-lagunya.

Nak. (Iwanfals)
Jauh jalan yang harus kau tempuh,
Mungkin samar bahkan mungkin gelap.
Tajam kerikil setiap saat menunggu,
Engkau lewat dengan kaki tak bersepatu.

Duduk sini, Nak. Dekat pada bapak.
Jangan Kau ganggu, ibumu.
Turunlah lekas dari pangkuannya
Engkau lelaki kelak sendiri.

====================================

boleh masuklah debu kedalam sini, bersama kita melaju jauh.
tak boleh memaksa masuk ke dalam dadaku.

hanya disinggahinya mataku, memanggil cairan bening itu mengalir.

Sabtu, 13 Juni 2009

judulin, silahkan.

Sungguh, aku mengenali tempat ini
di mana aku, sunyi dan hening menjadi satu
dalam sebuah cerita pendek yang tak pernah selesai
di mana kita, yaitu Kau dan mimpimu,
aku dan heningku,
tak pernah beranjak kala gerimis menderas.
di mana hujan makian dan badai kegembiraan,
boleh singgah di mana suka

Sungguh, aku mengenali tempat ini
di mana aku memulai sebuah percakapan
hingga diam menjadi bahasa yang baku
di mana kita, yaitu Kau dan semangatmu,
aku dan kedunguan itu,
bercampur dalam sebuah lukisan bergambar jalan setapak.

Sungguh aku mengenali tempat ini
di mana tiba-tiba terbuka mataku kala rintik berhenti
di mana kita, yaitu Kau dan suara langkahmu,
aku dan denyut jantung itu,
bernyanyi, dengan suara masing-masing.

Sabtu, 16 Mei 2009

next next level, man shabara zafara

Sebuah buku tulisan Amru Muhammad Khalid, al-Shobr wa al-Dzawq, diterjemahkan oleh Syarif Hade Masyah, diterbitkan "Serambi" dengan judul: Sabar dan Bahagia. Pada bagian awal buku ini Amru M Khalid menulis tiga jenis sabar.
1. Sabar menahan diri dari segala bentuk kemaksiatan
2. Sabar menghadapi musibah
3. Sabar dalam menjalani ketaatan.

Dalam tulisan ini ane bakal cerita tentang sabar yaitu bahwa sabar itu mempunyai tingkatan.
Kadang hidup itu seperti sebuah flowchart, rangkaian pilihan beruntun buat menyelesaikan segala persoalan yang harus dihadapi, maka dari rangkaian flowchart yang njelimet, rumit, kompleks, kita akan sedikit mengabaikan yang lain, dan membahas kesabaran.

seperti sebuah game, ada tingkatan/level dalam hal kesabaran.
al-Ankabut:1-2.:
Apakah mereka itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: "kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?

Dalam flowchart seperti yang kita bicarakan, kesabaran kadang adalah pilihan, yaitu pilihan untuk bersabar atau sebaliknya. Pilihan yang kemudian berulang, lagi, lagi, lagi. Dimulai dengan pilihan mudah tentu saja, kemudianbertambah sulit, dan semakin sulit, tergantung di level mana kita berada.

Pada level awal, ini adalah pilihan mudah. Sebuah pilihan buat kita, buat bersabar, atau begitu saja mengikuti ego yang tergesa, setan yang tergesa.

bersabar atau tidak pada level ini, kita akan berangkat pada level berikutnya: lebih berat.

Kesabaran kita pada level sebelumnya akan memudahkan kita buat tetap bersabar pada level ini (meski tentunya tetap ada pilihan untuk berhenti bersabar).
Namun jika pada awalnya kita sudah tidak bersabar, maka akan ada kecenderungan untuk tidak juga bersabar pada level ini (meski tetap saja kita punya kesempatan untuk lebih bersabar).
Artinya apa yang kita lakukan kemarin akan berpengaruh hari ini, dan apa yang kita lakukan hari ini akn berpengaruh untuk besok.

proses itu mungkin akan berulang, lagi, lagi, mungkin lagi.

Bahan uji kesabaran itu tentu sangat variatif. Banyak sekali jenisnya. Tapi kita bisa bagi jadi 2 kelompok besar, yaitu kemudahan dan kesulitan. Keduanya sungguh sangat akurat hasil ujinya.

Kita bisa saja tidak bersabar dari awalnya, berulang demikian, berulang lagi demikian. Sungguh, dalam rentang waktu itu kita punya pilihan, kesempatan untuk memperbaikinya, belajar bersabar.
Kita juga bisa memilih bersabar sejak awalnya, berulang demikian, bertahan tetap demikian. Sungguh, dalam rentang waktu itu kita harus tetap belajar bersabar, dan sungguh, dalam rentang waktu itu kita bisa saja menjadi tidak sabar, lupa bersabar, atau merasa tak lagi mampu bersabar.

apapun pilihan kita, kesemuanya akan ada hasilnya, karena apa yang kita putuskan hari ini, akan membawa pengaruh esok hari.

"Tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya tela menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, kesesatan yang nyata." (Al-Ahzab:36)

Lalu sampai kapankah rangkaian pilihan ini? Pada akhirnya kita akan sampai pada Final level. Di mana?
level-level itu Akhirnya akan membawa kita pada sebuah kondisi, di mana seakan kita sudah tak punya pilihan lagi. Kita bukan ditawari menentukan sebuah pilihan, melainkan dipaksa memasuki sebuah kondisi, seakan tanpa pilihan. Sebenarnya kita masih saja punya pilihan untuk bersabar atau sebaliknya.

Pada akhirnya kita akan memasuki sebuah area: End of levels, di sini kita benar-benar tidak punya pilihan. Di sini adalah hasil dari pilihan dan keputusan yang kita bikin di level-level sebelumnya. inilah Yaumuddiin.

Maka kapan kita akan belajar bersabar? itupun pilihan buat kita. Kita bisa memilih untuk tidak pernah memulainya, melewati final level, dan sampai pada the end of level dalam kondisi itu. Kita juga bisa memilih untuk segera memulainya, terus bertahan, menggenggam sunnah meski seperti bara di jemari, menggigitnya dengan geraham, dan tiba di The End Of Levels.

Nabi Syuaib pernah bicara pada kaumnya:
"Dan wahai kaumku! Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat(pula)...
...
Dan tunggulah! sesungguhnya aku bersamamu adalah orang-orang yang menunggu. (QS. Hud:93)

Semoga bermanfaat.

Senin, 11 Mei 2009

bab23, menggantikan bapak menggetah di hutan.

  Tersentak, ternyata jam 2 malam. Setetes bening dari sela rumbia tersusun padat menterkejutkan lelapku tiba-tiba. Deraskah?
 Tidak, inilah embun, yang telah menunggu, inilah embun, yang bertemu, melewati padat ikat rumbia pada bambu bersusun.
 Bertemu menjadi bulir bening jatuh tepat di sisi daun telingaku, kemudian menyentuh papan kayu bersusun alas tidurku.
 Terus pada papan lain yang tak lebih halus, lantai. Terakhir menggumuli tanah sebelum kemudian tenggelam ke dalamnya.
Aku mengintip benderang dari sela bambu beranyam dinding bilik. purnama sempurna.
kilau teduh itu mengitari tepian rinduku, pada sebait senyum pada halaman lain, di buku yang lain.
Duduk, aku yakin tak dapat mengulang lelap yang begitu mahal untukku. jangkrik, denging sayap nyamuk.
Kunyalai lampu minyak dari kaleng susu bersumbu karung terigu. Temaram, asap mengepul.
Kutiup cahaya itu hingga padam. kupilih benderang di luar. purnama...
Awan, menghitam di sudutnya hendak menyentuh tepian bibir purnama. tak bisa!!!
Kukenakan jaket dan sepatu berujung besi melompat mencari jalan setapak.
sisa kantuk yang tak sempat kuselesaikan kubawa serta.
membelah belantara gelapnya, mencari entah.
Kubelah belantara kala dingin masih mampu menembus jaket yang kukenakan, terecap di tulang pasi-kan telapak tanganku, ujung jarinya mengkerut, mulai basah oleh embun di dedaun semak belukar. Purnama sempurna melekat di langit cerah, gemintang kemerlip menyusun galaksi masing-masing, gumpalan mendung kecil-kecil sentiasa menjaga jaraknya dari lingkaran sempurna rembulan purnama, menjadi lukisan.
  Aku terjerembab, ujung besi sepatu di kakiku bertemu akar-akar yang meninggi dari tanah.
 Lihat ke bawah!!!
 Sama saja, sempurna purnama benderangnya bukan cukup menerangi setapak berliku ini.
Tapi janji, aku tak akn tercebur ke kali di sisi kananku, sebab di situ purnama berderai menjadi serpih yang menari.
 Di seberang kunang-kunang berpuluh jumlahnya berpendar, terbang bergetar cahayanya, kalau begitu aku mencari cahaya, tak jauh di seberang kali kecil ini.
 Aku melangkah di atas titi (jembatan), kemudian menjauh dari kali, menembus rimbun pepohon getah di kiri-kanan langkahku. Kian gulita, cahaya dari langit tak mampu tembus daun-daun rerindang menyampul bumi. Tapi tak lama, karena kemudian kulihat cahaya. Aku mendekatinya langkah demi langkah, makin lamban ayun kaki dalam gelap ini.
 Cahaya itu kian terang, kulihat kemudian, jalan raya, tepat di seberangnya adalah hentian, bisa kau lihat, rumah makan, kedai kopi, mushola, dan lain-lain. Maka selesai sudah kuseberangi belantara hutan getah barusan, tak jauh ke tempat ini, tak sulit perjalanan ini, aku hanya harus menembus belantara hutan getah yang gelap, itu saja. Lebih jauh jika aku harus pulang, melintas terjal dakian dan turunan, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, dan butuh beberapa jam untuk sampai ke rumah bapak. karenanya aku tak pulang, menginap di hutan, membawa bekal untuk seminggu, tak bertemu siapa-siapa, tak bicara dengan siapa-siapa, tepat seperti inginku.
 Tapi malam ini aku telah di sini, duduk memesan segelas susu hangat, pemilik menawarkan kopi, sayang aku tak suka kopi.
 Dua buah bus berhenti di depan rumah makan, sementara di tempat yang lebih ke tepi ada 3 truk gandeng parkir berjajar.
 Pemilik warung menyodorkan gelas penuh berisi padaku. Aku duduk bersandar di tiang menghadap ke salah satu bus. Dari pintu yang terbuka kulihat seorang perempuan, berjilbab, membuka sekotak nasi, meletakkan sebotol air di samping duduknya, jilba itu biru terang warnanya.
 Ah, aku begitu rindu dari jauh memandangi jilbab-jilbab yang menjanjikan penjagaan. Hijab untuk hati yang setiap detiknya adalah cemas, setiap hela nafasnya adalah rasa takut. penjagaan dari tajamnya mata-mata yang liar, hati yang di dalamnya ada penyakit.
tiba-tiba ni begitu menyakitkan, tak hendak berlama-lama dengan rasa tidak nyaman itu aku pun berpaling, mengisi penuh-penuh fikiranku dengan segelas susu hangat, rupanya pemilik warung mencelupkan sekantong teh kedalamnya.
 Aku berbaring di bangku panjang, menghitung bintang, sementara telinga mendengar percakapan-percakapan yang tak penting, mataku mulai berat, letih, aku terlelap.
 Mimpi merayap menyergap aku dalam gelap. aku berdiri sendiri mendengar bisik semilir menawarkan tarian aurora di ufuk sana. seekor naga muncul entah dari mana. Meliuk, merendah di hadapanku, seakan menawariku tumpangan buat terbang bersama. aku begitu saja bergelayut di lehernya.
 "Aku akn di sini sejenak, Anak muda..."
 "Tak bisakah aku ikut denganmu saja?"
 Sang naga diam, terbangnya kian tinggi melewati gumpalan mendung, kulihat bias cahaya dari timur, cahaya keemasan! Nag meliuk berputar dan aku....
 Terlepas, aku tak lagi bersama sang naga, jatuh sendiri, melewati gumpalan mendung, terus turun. Aku pasti mati pikirku, wajahku terasa kebas, tanah terhampar siap menanti jatuhku, itulah tempat kembali tubuhku, tempat kembali wujud asalku, baru kusadari.
aku terpejam, tiba-tiba tubuhku terasa kembali melayang, perlahan kubuka mata, naga itu telah menangkap tubuhku, mendudukkan aku di lehernya, dan terbang merendah.
 "Kau pilih bermimpi, Kau akan terjaga. Kau pilih terbang, Kau mungkin terjatuh. Kau pilih bersamaku, Kau harus siap dengan segala kemungkinanku. Maksudku kemungkinanmu sendiri."
(diadaptasi dari Cala Ibi, sebuah novel)
 
Sang naga masih diam, memberi pilihan padaku untuk turun.
 "Aku tak peduli!!!!" pikirku, aku berpegang lebih kuat. Maka ia kembali naik ke angkasa, membawaku terbang di atas sungai, gunung, hutan, persawahan.
Hingga kami (aku dan sang naga) sampai di sebuah pemukiman yang benderang, di tengah-tengah pemukiman itu ada sebuah tanah lapang, Obor bambu di sana sini menerangi tiap sudutnya. ramai orang berkumpul mengelilingi unggun besar. di lingkaran terdekat, anak-anak menari, di sekelilingnya anak-anak yang lain menabuh rebana, mereka mendendangkan sholaewat, riuh sangat. Aku terpana di atas leher sang naga yang tak begitu peduli dengan keramaian ini. Sang naga sengaja membiarkan aku menikmati ini, hingga semua anak-anak itu berhenti menari dan bersholawat.
  Lamat-lamat ku dengarsuara, semua tertunduk. suara itu melantunkan kalimat-kalimat indah, terus mengalun, memicu haru hingga ketika suara itu terhanti, seorang bertubuh kekar membawa sebuah bedug ke tepian lingkaran. AKu mulai mengantuk, bergelayut manja(bolehlah^_^) di leher sang naga hinga pukulan pertama berdentum, disusul pukulan kedua dan seterusnya, kurasakan mataku kian berat. kusandarkan tubuh dan wajahku di kulit leher naga yang hangat. Sang naga beranjak perlahan, semilir menerpa wajahku, kantuk kian menyerang. Aku berpegang sekuat yang kumampu.
  Dua takbir bersambung mengejutkanku, jantung berdegub keras sekali, aku terbelalak, tapi tetap saja gelap.
 Dua takbir bersambung sekali lagi membahana, aku terjaga. Aku duduk, kini hanya aku dan pemilik warung, azan berlanjut. Kuserahkan lembar uang padanya.
 "menurut Mas, ap naga itu benar-benar pernah ada?" aku terkejut ditanyai begitu.
  "Naga?" aku balik bertanya.
  "Iya, tadi ada dua sopir di sini yang bicara soal naga, seakan-akan naga itu benar-benar ada." ucapnya sambil menyodorkan kembalian padaku.
 Aku tersenyum, menolak kembalian itu dan mengambil sebungkus nagasari di atas meja.
 Aku mengacungkan bungkusan nagasari itu sambil tersenyum padanya, berharap itu bisa jadi jawaban.
 Aku bergegas menuju musholla.
 Ada yang menarik ketika aku hendak menambil air wudlu, sebuah bedug dari kayu randu dan kulit sapi berwarna coklat terang, menggantung di teras mushola, aku memandanginya sesaat, kemudian mengambil wudlu untuk melaksanakan subuh bersama jemaah yang lain.
 Bedug itu mengingatkan aku pada bulan puasa yang selalu indah dalam ingatanku. Pertanda berbuka...
 ***
 Usai subuh aku masih duduk menepi dari sajadah yang membatasi dudukku dari lantai. Meresapi dingin lantai mushala lewat betis, juga dua telapak tangan yang menopangku dari belakang. Jemaah habis meninggalkan mushala, tinggal aku sendiri dan imam sholat yang sibuk bertilawah.
 Aku duduk, sendiri, tidak berpikir, tidak berdzikir. Cahaya semburat mulai mengintip perlahan, sang imam menyudahi tilawahnya, membunyikan Tape recorder yang dikeraskan dengan Toa, corong ajaib.
 Sholawat pun mulai meriah di dendangkan anak-anak diiringi tabuhan rebana, aku mulai memahami perjalananku bersama sang naga.
 Cahaya perlahan bertambah kadarnya mencampuri pandanganku, seakan memintaku menjelaskan perjalanan ini, aku telah disini, hampir tanpa alasan.
 Berlari ke hutan, kemudian berlari dari hutan. Bukan begini mestinya...
  
(belum selesai)

Jumat, 08 Mei 2009

tat tit tut

sementara kau disibukkan dering telepon,
bunga-bunga di teras mengering.
lihat, dinding kamar ini retak,
oleh isak sedu dari ujung kawat.
mengait jantung-jantung yang hampir tak berdenyut.
sementara jasad-jasad terkapar,
dengan mata terbelalak.
menatap air mata yang menetes.
di sudut bibir yang tengah tersenyum.
atas kesedihan yang tak tersampul.

Sabtu, 25 April 2009

The Gate: masuk ke dalam kebahagiaan

Ngacak-acak kertas-kertas usang, ane dapat secarik catatan,:

Kebahagiaan itu tak berpintu, tak berdinding, & tak dibatasi sekat-sekat. Kita tak memerlukan ukiran-ukiran yang rumit untuk dapat hadir di dalamnya.

Kalimat itu sunguh bisa ane terima, jika saja kemudian ane tidak mencelupkannya kedalam gelas kimia, karena sekejap kemudian ane mendapati pelangi, sejurus kemudian, ane mencium wangi. Sungguh, ane ingin segera meminumnya, menelan kalimat itu tanpa ampun. Hingga kemudian ada pertanyaan, halal, haram? Karena Kebahagiaan yang tertulis dalam kalimat itu belum mampu memisahkan keduanya.
Benar saja, ane kamudian begitu tertarik pada satu unsur yang begitu mendominasi di dalamnya. Barangkali lebih mudah mempelajarinya jika unsur ini ane pisahkan.

Unsur itu adalah: kesenangan.

Sungguh tidak mudah memisahkan kesenangan dari kebahagiaan, Kawan.
Maka kita mulai saja penelitian ini, hehe.
Kita ambil sedikit sample: kebahagiaan.
Kita akan melakukan filtrasi, memisahkan kebahagiaan dari kesenangan, tapi tentu belum tuntas, karena kesenangan adalah bagian terbesar dan paling kuat terikat dalam kebahagiaan.
Penyulingan,
Fermentasi, (jangan ding, ntar ente bisa teler)
Melewati pipa kapiler dan proses yang rumit sangat, akhirnya kita bisa memisahkan kebahagiaan dari kesenangan. Ternyata kebahagiaan sangat sedikit saja sisanya tanpa kesenangan, Mak!!! Tapi cukuplah buat tes labor selanjutnya. (mulai rontok rambut ane...) ^_^

Inilah, kebahagiaan tanpa kesenangan, ane hampir kehilangan minat ane buatmelanjutkan penelitian ini, tapi tunggu, inilah inti dari rahasia kebenaran kalimat itu, ane harus temukan, ane tidak ingin kehilangan begitu saja keyakinan dan keinginan ane buat menelannya penuh syukur.

Subhanallah, unsur-unsur ajaib ini?

Tanpa unsur ini, kesenangan hanya akan bertahan beberapa menit, ternyata.
Tanpa unsur ini, kesenangan adalah racun yang sangat berbahaya, ternyata.
Tanpa unsur ini, kesenangan bisa merusak susunan DNA kita! merubah tingkah polah, perilaku kita. Mengganggu kesehatan fisik, mental dan spiritual kita nyaris tanpa kita sadari.
Tanpa unsur ini, sungguh kesenangan tidak akan menjadi kebahagiaan.

Unsur-unsur ajaib, unsur-unsur yang sangat populer, sejak empatbelas-ratusan tahun yang silam. Ane campur-campur unsur-unsur ini dengan komposisi yang berbeda-beda, akhirnya ane dapat beberapa senyawa, campuran, senyawa campuran.
Apa jadinya? Es teler? Tentu saja bukan.

Ane dapat beberapa nama untuk hasil penelitian singkat ini. Dan untuk ente, kita konversikan dan kita kaitkan saja dengan kalimat indah di atas: kebahagiaan itu...

Kebahagiaan itu tak berpintu, tak berdinding, & tak dibatasi sekat-sekat. Kita tak memerlukan ukiran-ukiran yang rumit untuk dapat hadir di dalamnya.

Kebahagiaan, kedalamnya Kau bisa hadir dari mana saja, kapan saja Kau suka, bahkan kadang Kau tak perlu masuk untuk dapat hadir di dalamnya.
Maka Kau boleh terlempar keluar lewat mana saja, kapan saja, tanpa Kau duga, bahkan kadang tiba-tiba Kau sudah begitu saja tidak lagi di dalamnya.

Kutawarkan untukmu sebuah ruang, tiang, dinding, atap, sekat-sekat untuk bilik, pintu, dan ukiran yang indah, tidak rumit, Sayang. Ukiran itu, adalah kesabaran.

Akhirnya , ane harus mengawetkan hasil penelitian ini, bikin result list-nya, kemudian menempel label semana ane suka. karena unsur-unsur, senyawa, campuran, senyawa campuran itu sebenarnya telah di populerkan semenjak empatbelas-ratusan tahun yang silam.
Ane menulis besar besar labelnya; beberapa kata:
Ruang, tiang, dinding, atap, sekat, pintu, ukiran.

Bagaimana dengan pondasi?
Tentu saja, ada banyak hal lain yang dibutuhkan buat melengkapi kebahagiaan itu, yang sangat dibutuhkan, atau tidak terlalu dibutuhkan.



dan ukiran itu adalah kesabaran

Rabu, 22 April 2009

Door Duisternis Tot Licht

judul yang aneh, judul asli dari terjemahan Armijn pane: habis gelap terbitlah terang.
kumpulan surat-surat RA Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Sono.
ane sendiri belum pernah baca ini buku, ane tertarik saja pada judul ini: "Habis gelap terbitlah terang"
ya, sebuah rahasia, kalimat ini madalah sebuah rahasia tentang keindahan, kenikmatan, yang dapat kita resapi hampir setiap saat, kalimat ini laku begitu keras dalam hampir setiap fase kehidupan yang kita jalani ternyata.
barang kali setiap kita pernah merasakan sakit, pahit, sulit, gerah, kepala sakit, hati dingin, perut mual.
ketika pembuluh darah di belakang kepala terasa begitu tebalnya, ketika jantung serasa memompa cairan lain, empedukah? bukan, tapi hanya pahit yang terasa.
maka sungguh setiap kesulitan itu akan disusul kemudahan, pahit akan berganti manis, gelap di susul terang.
nggak percaya?

“Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (Al-Thalaq: 7).

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”(Al-Insyirah: 5-6).

“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat.” (Alhijr: 56).

jika anda masih hendak ngeyel misalnya dengan bertanya: "kapan?" atau anda begitu lelahnya dengan kesulitan-kesulitan itu, kemudian protes, anda tahu siapa yang anda protes itu. tapi sungguh, hanya sabar yang kita butuhkan buat menyambut cahaya, kemudahan dan rasa manis itu. mutlak.
sabar buat nrimo, sabar menahan diri, dan sabar untuk tetap berbuat.

Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah [2]: 155).

setuju?

Minggu, 19 April 2009

rindu di kawah talang

Gerimis, gelap. jalan setapak tawarkan perih.
seberat bekal di bebanku bergantung di pundak ringkihku.
kita bertemu, aku menyentuhmu setelah akad.
saat matahari hampir tenggelam.
berdua, tanpa siapa-siapa,
menanti sujud bersama, hingga keningku menyatu dengan bibir kawahmu,
kawah talang berbunga.
aku mencintaimu,
mencintai tandus dan gersangmu,
tubuh berbatu terjalmu.
keindahan itu bukan ada padamu.
tapi di sini, berdua, kau tawarkan indah di kejauhan,
sunset berian Tuhan.
hanya bersamamu, bisa kuresapi indah ini, sayang.
sesaat saja, maka semua akan sirna.
kutahu takkan ada siapa-siapa. kau juga diam saja.
gelap.
dingin.
kau tidak bicara, tidak menangis.
aku akan tetap di sini untukmu.
menciptakan hangat dari ranting-ranting kecil.
mengantarku pada bara yang padam,
pada mata yang pejam.
menanti cahaya, hingga kita tersenyum,
dalam sejuk menghembus butir-burtir lembut.
menyaksikan dua anak danau,
hingga waktu pulang tiba.

Senin, 06 April 2009

mlipiri rindu di pinggir tabir.

Di pinggir hati yang ketir-ketir, aku mlipir,
bersama semilir yang berdzikir.
akhirku khawatir.
kutahu kadang waktu seakan berbalik jungkir,
tak selalu sama dengan angan yang ku ukir.
Kau tahu kadang aku ingin mangkir.
dari sini ku jemput akhir.
tapi biar sejenak berpikir.
barangkali biar kucecap embun secangkir.
kemudian biar cahaya menjemput akhir.
tanpa kugelapi hati yang khawatir.
biar tak lagi khawatir.
tak lagi khawatir.

Rabu, 18 Maret 2009

tak lagi

pagi itu aku berlari,
kupijak-pijak genangan air
menggambar sketsa langit di jalanan.
aku berhenti.
kupikir aku mellihatmu,
ternyata tidak!
tak lagi kupijak genangan air,
juga sketsa langit.
aku duduk di bangku panjang.
di langit ada pucuk-pucuk bambu.
aku bergerak mengikutinya,
kanan, kiri.
aku berhenti.
kupikir aku mendengarmu,
ternyata tidak!
aku tak lagi duduk,
aku tak lagi ada.


18 january, dua ribu tujuh.

buta warna

sehabis malam pekat.
pagi datang tanpa sapa.
membawa layar yang begitu cerah.
lalu dari bukit ini kusaksikan,
pelangi melingkari mataku.
tiba-tiba aku memuja warna.
dalam komposisi yang tak kumengerti.
sementara tak kuingat,
di mana?

agenda pagi

selamat pagi!!!
kau sudah terbangunkah?
ini aku, wangi pagi.
kita berjanji bertemu di tepi cahaya,
kau ucapkan itu semalam, menjelang tidur.
menepilah ke jendela, kau tahu kamarmu adalah lautan.
kita hampir sampai di tepi cahaya.
hiruplah aku, di dadamu aku akan mencair ke dalam darahmu,
bercerita pada tiap sel tubuhmu.
betapa aku merindukan pertemuan itu.
tak lebih rendah, tak lebih tinggi,
kita menyatu dalam datar.
di mana hinggap kupu-kupu.
seperti biasa, dalam terbangnya ia bergetar,
melukis pendar di langit.

Senin, 09 Maret 2009

sunyi

aku adalah sunyi.
di sudut benci, di tepi rindu.
di dalam tanda  tanya.
memukul, membanting.
menjerit, menangis, marah,
aku diam.
aku begitu mengagumi suara.
hingga rela kupejamkan mata.
dan kutahan detak jantung.
demi mendengarnya.
tapi ketika ia tiba,
aku hilang.

january 2007

Rabu, 04 Maret 2009

Mata, luka, senyum & Cinta

Sore itu aku menemui dua pasang mata. ke dalamnya aku mencoba menerobos sejauh-jauhnya, menyibak tabir, menelusuri urat-urat pembuluh darah di dalamnya. Membelah selaput yang menghalangiku, meski kemudian aku sadar, selaput itu membungkus diriku sendiri, bukan menghijab dua pasang mata itu dariku.
Aku tahu, dua pasang mata itu begitu terbuka, menyaksikan setiap pertunjukanku. Bahkan telah berpuluh tahun demikian. menyaksikan setiap luka yang kutawarkan. Semua luka, kesombongan amarah, hujat, mungkin kedurhakaan.
Dua pasang mata itu begitu teduh, melindungiku dari terik, hujan kerikil dan badai kebimbangan, berpuluh tahun sudah.
Hingga sore itu, aku menemui kedua pasangnya.
Aku menemui keduanya, tetap teduh, menerima aku yang datang dalam keadaan medeng(tegang dalam ketidak mengertian).
Sepasang menatapku, kokoh, tak bergeming, pembuluh-pembuluh darah di sekeliling pupil itu bicara padaku, dengan kekuatan yang tenang, tetap teduh.
Sepasang yang lain terpejam, darinya menetes butir-butir bening.
Ah, Aku begitu rindu pada cahaya di balik pejamnya itu.
Aku diam.
Aku menunggu mata itu terbuka, biar basah, aku begitu rindu. Pada cahaya di balik pejamnya itu....
Aku begitu rindu pada cahaya di balik kelopak mata yang terpejam itu. Darinya mengalir butir-butir bening.
Kepada dua pasang mata itu aku datang, kubawa sebuah peti. Bukan mudah jika Kau tahu, aku menyeretnya. Di pinggang dan pundakku terpilin tali dari akar-akar, peti itu adalah kedunguanku, Kau tahukah isinya?
Sebentar, lihatlah diriku. Lihatlah aku harus membungkuk untuk membuat peti itu bergerak. Lihat, Kau bisa temui jejak tali-temali di pundak dan perutku. Kini keduanya basah, keringat, dan aku harus telanjang dada.
Di sisi jantung, dadaku berdarah, luka kecil itu belumlah sembuh betul jika kau lihat. kakiku pecah berdarah, lihat wajahku, kau bisa temukan sepasang mata yang nanar, berair. Tapi aku bukan menangis. Aku tidak mudah menangis jika kau tahu. Aku tidak suka menangis, dan aku tidak sedang menangis. kau ingat itu. aku telah sampai, sejenak ber-medeng(tegang dalam ketidak mengertian) dengan dua pasang mata itu, aku lalu merindu cahaya, sesaat. kulepas perlahan lilitan di perut da bahuku, merah. Perih, jika kau tahu, kadang aku lebih suka ia tetap di situ, mungkin karena ia sudah biasa demikian.
Aku merunduk seperti ruku'. darah masih merembes dari sisa luka di kakiku. lalu tengadah, kuucap do'a.
"Tuhan, kuatkan sisa darah di tubuhku" Aku mendikte-Nya kah?
Aku berlutut, kulepas tali dari peti, hati-hati sekali, seakan peti itulah nyawaku. pernah kau lihat salju di atap-atap rumah di daerah dingin di musim salju? begitulah peti itu, saljunya adalah debu. Aku tak mampu melihat tembus bahkan meski hanya pada permukaan peti itu.
Aku mengusapnya perlahan, hati-hati sekali, seakan peti itu adalah hidupku.
Seukuran manusia, tapi peti itu bukan peti mati Kau harus tahu itu. Ukurannya persis memang.
Aku telah selesai dengan debu yang menutupi seluruh permukaan peti. Peti itu berwarna coklat muda, mungkin kemerahan, jika saja aku tak mengidentikkan merah dengan darah. Ada bintik hitam di setiap sudutnya. Penutup peti itu begitu kuat melekat, kau tidak akan mendapat udara atau cahaya di dalamnya. Penutupnya berpasak, dan pasak itu berkait. Aku tak mampu menjelaskannya, yang pasti penutup itu tak akan terbuka begitu saja. Tapi jika kau ada dan berada di dekat peti itu, tidak akan sulit membukanya.
Lihat! sebuah peti yang berkilat memantulkan cahaya di sekelilingnya, dan seorang lelaki berlumur darah, berkeringat, sarat dengan bekas luka, juga luka, aku.
Aku mendekatkan kepalaku diatas peti, aku mencium wangi. kau juga bisa menciumnya. Dua tanganku kusembunyikan di balik punggung. Jika begini, aku tak lagi hendak menyentuhnya dengan kedua tanganku, seakan peti itu lebih berharga bahkan dari nyawaku.
Perlahan kulekatkan keningku diatasnya. mataku berair, meneteslah ia di atas peti. tapi aku bukan menangis, Kau ingat itu?
Aku terpaksa mengusapnya. Lalu tengadah, ku ucap do'a:
"Tuhan, bantulah aku memahami semua ini..." aku mendikte-Nya kah?
Kutinggalkan peti itu lalu berdiri. Kutemui kembali dua asang mata. Sepasang berair, kian deras. Sepasang hampa, kian kosong. Sedari tadi dipandanginya aku dan peti itu.
Aku mendekat, kususun simpuh, perih. Kaki dan tubuhku berdarah, tak mudah berhatur sembah. Dua pasang mata itu, kugilir dengan mataku, Sepasang hampa, tapi teduh, kau bisa rasa hangat padanya, sekaligus sejuk. Sepasang sendu, tapi bening. Kau bisa rasa cahaya darinya. Ya, cahaya. Jika saja tak kudengar kata tanya.
"Kenapa?"
Sejenak aku diam.
"Peti ini untukku" jawabku.
"Ya, peti ini untukmu" itu saja.
Kembali hening, kau tahu masalahnya. Bukan peti itu, bukan masalah milikmu atau bukan, toh mereka tidak akan merebutnya, bahkan mungkin tidak akan membicarakannya. Tapi coba dengar kembali katamu sendiri.
"Peti ini untukku" kemudian cari apa persoalannya.
Dua pasang mata itu mendekat, disentuhnya wajahku, bibirku, jika kau lihat, seperti menangis, tapi aku bukan menangis, harus kau ingat.
"Kau...
Kau di sini..." Kulihat senyum.
Jika Kau tahu, selalu butuh energi untuk sebuah aksi ataupun reaksi.
Sebuah peluru yang lepas dari larasnya, selalu menyebabkan dorongan ke belakang, Kau bahkan bisa terjungkal karenanya, tapi peluru itu tak akan diam, dia akan tetap melesat, meski mungkin meleset.
Aku tak bisa bergerak, tiap sendiku mati, aku terbelalak, cahaya, cahaya....
Di sepasang mata yang kosong aku berteduh, sepasang yang lain memberiku cahaya.Aku berdiri, darah dan luka tak lagi kurasa.
Aku menangis sejadi-jadinya. Isak dan sedu sedan kutumpahkan, kupeluk dua pasang mata sekuat lenganku.
"cukup, tangismu, Nak....."
Seakan menyadari sesuatu, kudekati peti itu. kini Kau akan tahu isinya.
Kulepas kait, lepaslah pasak yang mengunci penutup peti itu. Aku membukanya, sebuah anak panah berlumur darah, sebilah amarah, stangkai bunga, sebungkus kesombongan, dan sebotol air mata. Seakan menyadari sesuatu, aku menutup kembali peti itu.
Kembali kutemui dua pasang mata. Aku masih begitu rindu jika Kau tahu. Lama sudah sangat. Kuraih jemari mereka. Dari sepasang mata,  kutelusuri otot -otot di jemari, tak lagi sekokoh dulu, barangkali waktu telah mengajaknya merenta.
Dari sepasang yang lain, jemari itu masih halus, masih lembut. Darinya mengalir kasih, digenggamnya jemariku kuat-kuat. Dari sepasang mata itu mengalir butir-butir bening.
Aku tak lagi suka jika Kau tahu. Jangan penuhi mataku dengan air, Ibu. Aku tak ingin larut dalam haru, aku tak suka. Kusapu air dari sepasang mata itu. Aku sendiri tersedu, kebasahan.
Genggaman ibu di jemariku kian kuat. Jemari itu tak lagi mungil, tapi itu bukan jemari yang berbeda. Waktu yang telah menguatkannya, menumbuhkan bulu-bulu lembut, menguatkan ototnya, memperbesar tulangnya.
Jemari  itu, telah dihalaunya puluhann anak panah, digalinya batu, digenggamnya sebilah amarah, menebas tiap asa yang tumbuh di tanah seberang. Ditaburnya berbungkus, berkarung keangkuhan, dan pernah digenggamnya setangkai bunga. Terakhir, diseretnya sebuah peti.
“Kau penuh luka, berdarah…”.
“belum seberapa, aku akan pergi, nanti. Terlalu nyaman di sini.”
“Lihat dirimu, kau terlalu muda.”
Kulihat air matanya mengalir, bening. Sebening kasih yang tak pernah kering darinya. Aku ingat kali kecil di tepi hutan.
Aku tersenyum.
“Aku di sini, Ibu.”
Dipeluknya aku, begitu kuat. Hingga aku hancur berderai laksana kembang api. Aku meledak sendiri, bunga apiku menyentuh langit-langit rumah ruh. Kau tahukah rasanya bahagia? Aku telah begitu merindu pertemuan ini, hingga bahkan aku lupa  pada rinduku.
Aku beringsut, melompat, ada sesuatu dalam otakku. Kali kecil itu.
Aku berjalan, rerumput bertemu luka di kakiku, aku tak peduli. Kali kecil itu berbatu, deras, dingin. Sedikit ke hulunya, kau bisa temukan air  terjun, di bawahnya biasa anak-anak kampung ini mandi.
Aku mendekat, dingin, merinding. Kusentuh, aku gemetar. Luka itu bertemu air, perih. Dingin, kupeluk tubuhku sendiri, kupeluk aliran air yang jatuh menghujam tubuhku. Aku menggigil, kebasahan. Perih, luka itu bertemu air, kemudian sejuk. Aku baru saja melewati permulaan itu.
Aku meloncat, bersegera kepada sejuk. Kurasakan terecap-terecap di sekujur tubuhku. Perih, sungguh. Ingin kuluruh keping-keping darah yang mengering. Perih, sungguh. Kutahu.
Luka ini akan sembuh.
Luka ini akan sembuh.
Kurendam jasadku di beningnya kali kecil ini, di antara bebatuan legam nan kokoh.
Debu, darah, tanah, luruh sudah. Aku bangkit. Kubelitkan handuk di pinggangku. Aku melangkah di sisi kali. Kunikmati sejuk, sore dan sepoi. Dadaku berdarah, aku mengusapnya.
Kau bisa lihat langit sore. Ketika mendung membungkam matahari dari ceritanya pada bumi. Matahari masih berisyarat, cahaya memberkas di setiap sela mendung. Tidak letih. Jauh di bawahnya, di sini, aku berjalan di pinggir kali. Batu-batu di jalanan ini disusun untuk menerima setiap pijakanmu di atasnya. Rerumput yang tumbuh memberimu wangi. Di satu sisi Kau bisa segera melompat ke aliran air di kali yang bening itu, di sisi yang lain berjajar pepohon, bermacam, besar, tinggi, kokoh.
Dedaunnya terkadang jatuh ketka beberapa ekor burung terbang meninggalkan ranting yang kemudian berayun. Dedaun jatuh ikuti sepoi, ditabraknya wajahku. Bukan, ini seperti sentuhan bidadari. Kau tahu aku tak mungkin menyamakannya dengan belaian ibuku.
Jika jalanan ini rata, mungkin aku akan bersepeda melewatinya, bersama ibu, menangkap cahaya senja. Sesekali berhenti, biarkan dedaun turun, jatuh, melayang, indah, hingga sampai ke tanah, menjadi tanah.
Sesaat aku berhenti, kurenungi aliran air di kali. Padanya telah kuhanyutkan bekas darah, tanah, dan debu kering dari luka-lukaku. Ya, padanya akan sirna luka. Tiba-tiba di kepalaku ada sesuatu, peti itu.
Peti itu untukku. Ya, untuk kuikutkan pada air yang mengalir di kali ini. Aku telah lena pada peti itu, dan lupa pada makna isinya.
Aku telah lalai oleh warnanya yang telah membuatku lena bahkan saat pejam. Aku tersihir oleh bintik hitam di setiap sudutnya. Aku terlalu sibuk dengan kait yang menahan pasak yang mengunci peti itu dengan rapat, kuat. Aku terlalu rindu, wangi yang kuhirup adalah setangkai bunga di dalamnya. Aku terlena pada bunyi, tiap kuketuk tepinya dengan jari.
Aku bergegas, pulang.
Di pintu, sepasang mata ibu menangkapku, menangkap luka di dadaku.
“Tak semua anak panah itu dapat kuhalau, ibu.”
“Aku baik-baik saja.”
“Luka ini akan sembuh.”
Aku masuk. Di bilik aku berkaca,.
Kau masih sangat muda.
Kau masih sangat muda.
Aku keluar dari bilik, dua pasang mata itu bahagia, jika Kau tahu. Penuh cahaya, penuhi hatiku dengan cahaya. Mataku berair, kali ini aku menangis, Kau boleh bilang.
Untuk pertamakalinya setelah berpuluh tahun.
Aku berlalu, jejakku berbunga, nafasku berbunga, pandanganku berbunga, hatiku penuh bunga.
Dengan bahagia, kuangkat peti itu di pundakku. Aku ke kali. Di sebuah batu besar, kuletakkan peti itu di depan dudukku. Kulepas kait, kucabut pasak, kubuka peti, semerbak itu tak hilang.
Aku diam. Tersenyum tidak, tertawa tidak, menangis tidak.
Aku terduduk di dekat peti itu. Perlahan kulepas kait, kucabut pasaknya, peti kubuka, semerbak itu belumlah hilang. Wangi. Sekejap bahagiaku terhenti. Aku belumlah lupa. Pemberi peti ini seorang gadis. Aku begitu ingat. Dengan tangis diberikannya peti ini padaku, tanpa pesan, isyarat, apapun.
“maukah menerima ini untukku?”.
Aku diam.
“aku mohon dengan sangat…”.
Aku diam.
“untukku…”.
Aku diam.
“untuk lebih baiknya, tolong.”
Aku masih tak beranjak. Aku tak mampu membaca isi hatinya, ini sakit jika kau tahu. Peti itu berat sangat untuk kubawa. Aku melangkah, dengan amarah ku bawa peti itu di pundakku. Gadis manis menangis. Aku tahu bukan ini inginnya. Tapi bagiku waktu itu, itulah maunya. Maka untuknya, biar ku bawa peti itu sejauh-jauhnya, aku belumlah tahu kemana.
Kini aku di sini, di tepi kali ini, dengan jawaban yang berjejal di kepalaku, berhimpit-himpit dengan tanya jika Kau tahu.
Aku menangis, bukan, ini hanya isak. Bagaimana tidak, di sini, di tempat kembaliku dari penat, dari luka, dari perih, dari letih, ku dapati binar di dua pasang mata, cahaya itu berpendar.
“Akan kau temui kelak, sebentar lagi saja, dan Kau akan mengerti.”
Sebentar lagi saja, kenapa aku tak bisa memaknainya demikian? Barangkali aku tergesa dalam ketidak mengertianku…
“Ya, dan ketergesaanmu memberi jalan pada iblis menguasai hati dan fikiranmu. Itukah maumu?”
Kau tahu jawabnya.
Aku tersedu, ingin kupeluk. Siapa? Peti inikah?
Jauh, jauh, di sebuah pelataran sunyi, gadis itu menangis, di depan berdirinya sebuah altar persembahan dari batu. Ia menangis, untukku, jika kau tahu. Telah dihabiskannya kata, air mata, dan tiada yang didapatinya, kecuali jawab atas tanya tentang kehendak, niat, kasih sayang, sandaran, dan dua pasang mata yang ketika itu aku sendiri bahkan lupa.
Hari ini, sebuah persembahan akan disaksikan langit. Dari sudut hati seorang gadis, sebuah pembuktian atas cinta yang tak terbatas. Bukan untuk apa, siapa, atau mengapa. Tapi untuk kebaikan, dan untuk persembahan itu sendiri.
Di altar itu disusunnya rindu, disusunnya cinta, disusunnya angan, disusunnya sisa keping luka.
Telanjang lalu disusunnya doa, untukku. Maka ia melebur dalam pembakaran yang tak pernah ia tahu bagaimana kelak? Mungkin ia tahu, mungkin juga lupa, mungkin marah, mungkin letih, mungkin tak mengerti, mungkin lena, mungkin indah baginya, mungkin… mungkin saja.
Aku di sini, di tepi kali, di sisi peti ini, menyaksikan jelas prosesi itu dalam pelupuk mataku yang telah basah.
Ini aniaya jika kau tahu.
Bukan, ini bukan urusanmu.
Tapi aku… upacara itu untukku jika Kau tahu.
Lalu Kau siapa kah?
Ya, aku siapa…. Terimakasih.
Aku menangis, maaf, aku ingin menangis.
Aku kembali kepada petiku. Di sini akan ada upacara. Aku tak tahu untuk apa, siapa dan mengapa.
Sebilah amarah, kusarungkan, kembali ke dasar peti. Sebuah anak panah, kupatahkan mata panah itu, di tengahnya, menjadilah ia tiga patahan.
Tak akan kau lukai siapapun lagi, kubilang.
Setangkai bunga, hampir layu, wanginya tak  pernah hilang. Kurebahkan di antara yang lain di dalam peti. Sebotol air mata, kusiram isi peti. Sebilah amarah berkarat, anak panah itu melapuk, dan bunga layu, wanginya tertahan, tak lagi diacuhkan udara. Dan sebungkus kesombongan, kutabur dalam peti, mengeras, begitulah sifat aslinya. Keras sangat, isi peti menjadi batu, tak lagi wangi.
Kututup, berpasak, berkait. Aku tengadah, kujemput bahagia yang terhenti tadi sejenak. Kusertakan dalam doa. Bahagia ini untuknya, untuknya, untuknya.
“Tuhan, bahagia ini untuknya” Aku mendikte-Nya kah?
“Aku memohon, Tuhan. Bahagia ini untuknya.” Kurasa aku tak lagi memaksa.
Dari sini, aku ingin bicara, padanya, andai saja ia dengar.
Maaf, telah kutahu, peti ini bukan untuk memberatkanku, itu maksudmu. Hanya saja dunguku telah bercampur amarah, tapi kini telah kutahu untuk apa peti ini kau berikan padaku.
Maaf, tak cukup.
Terimakasih,
Juga belum cukup.
Telah Kau berikan cahaya dalam gelapnya relung batinku, bukan, hanya kau tuntun aku pada cahaya. Telah Kau belai tepian rinduku pada pertemuan abadi, membuatnya bergetar, telah Kau habiskan kata dan air mata untukku. Telah Kau tawarkan seluruh hidupmu, untuk bersamaku.
Aku diam.
Belum cukup, telah Kau benturkan tubuh ringkihku di bebatuan waktu itu, biar aku sadar fikirmu. Telah kau sebut berulang-ulang rindu. Tak juga cukup, maka Kau serahkan peti itu untukku, dan terserah, katamu. Sepergiku, pagi buta kau siapkan darah, Kau ke pelataran sunyi. Air matamu beku. Kau berdiri di bibir altar, Kau susun persembahan, telanjang, berdoa, dan Kau leburkan tubuhmu dalam pembakaran itu, untukku.
Aku menangis, tapi untuk apa?
Aku berdiri, riak air di kali membawa peti itu ketengah, mengikut arus, ke muara, dan entah ke mana.
Sungguh, aku ingin mengganti doa yang Kau ucap, yang mengantarku sampai di sini, pada kemengertian yang akan menebus luka dan perihku, dengan cahaya, kutahu itu. Maka bahagia ini untukmu.
“Tuhan, bahagia ini untuknya, untuk cinta, rindu, air mata, doa, dan keikhlasannya pada pembakaran itu. Untuk rindu yang tak akan berbatas. Engkau akan mengganti semuanya untuknya dengan kehedak-Mu. Dan di sini, aku akan rindu, pada-Mu.”
Aku pulang, tak lagi kurasa bahagia itu. Telah ku hanyutkan di kali, untukmu.
Kutemui dua pasang mata, masih bercahaya, masih bahagia, itu cukup, untukku.

Minggu, 15 Februari 2009

Kelahiran marjo

Angin kencang, tangis keras, tak henti, hingga hujan turun Marjo tak lagi menangis. kian deras, marjo kian lelap.

Karena rumput tetangga lebih hijau. (5)

Saya pun bercerita pada istri, kesenangan sesaat saya, ke-nelangsa-an saya, dan itsar! *gedubrak.. Istri hanya tersenyum karena kekonyolan i...