Minggu, 28 Juni 2009

bab 23. menggantikan bapak menggetah di hutan(bag.2)

mestinya bukan begini...

 Cahaya kekuningan menyembul di ufuk timur, sempurna matahari terbitnya menawarkan kehangatan. Hingar sholawat dari tape recorder telah hilang dari tadi. Sang imam berdiri sempurna, takbir dan mendirikan sholat dluha. Aku masih belum beranjak dari dudukku. Jalan mulai ramai oleh kendaraan. Telingaku menghangat.
  Kau boleh lupa pada persoalanmu sejenak, tapi ia bisa mendatangimu kapan saja, menekan kepalamu dari jantung, lewat urat-urat di lehermu.
  Aku bertanya, apa yang kulakukan di sini?
"Bapak mau ke mana?" Bapak tak berhenti berkemas ketika kutanya.
"Bapakmu akan ke hutan, Marjo" ibu yang menjawab pertanyaanku.
"Hutan?"
"Hutan getah di timur desa"
"di seberang jalan lintas raya?"
"belum, sebelum jalan besar itu"
"betul, Pak?" aku berpaling lagi pada bapak.
"iya, Jo, 3 hari yang lalu pak Marto menawari bapak, kebun adiknya yang di hutan getah timur desa sudah dua minggu tidak disadap. kemarin pak Marto kembali menemui bapak, kalau bapak mau, bapak bisa berangkat hari ini, atau besok."
"kebun kita?" bagiku keputusan itu adalah keputusan yang tidak mudah. butuh alasan yang sangat kuat buat seumur bapak menggetah di hutan itu.
"tidak ada masalah dengan kebun getah kita, Jo. tapi emakmu bisa mengurusnya. Bapak tidak mau mengecewakan pak Marto. lagi pula, di hutan itu hasilnya lebih banyak, meski hanya dapat bagian sebagai penggetah, jumlahnya hampir sama dengan hasil kebun kita yang semuanya buat kita.
  Aku memandangi ibu, penjelasan bapak tidak memuaskan, mak...
"lagi pula tidak lama, Jo, paling lama empat bulan."
baak melanjutkan ngepack perlengkapannya, akku mendekati ibuku.
"gara-gara yang marjo cerita sama emak kemarin, Mak?"
Emak tersenyum, beberapa waktu lalu, kepulanganku sebelumnya, kuceritakan gemerincing tambourine, seulas senyum, harapan. Aku duduk mencengkeramai emak, perlahan tapi jelas, mencoba membuka sebuah pintu ke alam gaib, menunjukkannya pada ibuku.
 Jika cerita itu menjadi alasan bapak engambil tawaran pak Marto, mungkin saja, tapi jika saja bapak tahu apa yang sedang kulewati ketika itu....
 Tapi tetap saja, dengan atau tanpa alasan itu, bapak berhak mengambil keputusan itu.


... mereka diam,keputusan untuk bapak mengambil tawaran pak marto adalah bukan urusanku, tidak masalah jika aku tidak boleh ikut campur mengenai hal ini. Tapi tentang aku meninggalkan pekerjaanku sama mas Prapto juga adalah sebuah keputusan. ah, andai saja mereka mengetahui apa yang sudah terjadi...
sekarang aku di sini, persoalan yang ingin aku tawarkan adalah apakah bapak yang akan mengambil pekerjaan itu, atau aku saja?
  "marjo ingin di sini buat sementara, Pak. jadi, kalau boleh, biar marjo saja yang ambil pekerjaan itu, bapak sama emak di rumah"
 Mereka akhirnya setuju dengan pendapatku, selain karena bapak yang aku tidak tega jika ia harus menginap di hutan, barangkali lebih karena aku butuh ini: sembunyi dari orang-orang, tak bertemu siapa-siapa, tak bicara dengan siapa-siapa.
 Matahari semakin tinggi, aku meninggalkan hentian antar kota itu, menyelinap di hutan. Hutan ini memang gelap, bahkan di pagi yang cerah begini pun cahaya tak mampu menyentuh permukaan tanah.
 Setiap langkah, aku terus bertanya, apa yang kulakukan? lari? dari apa? seperti ajal, kenyataan itu tak bisa dihindari, Kau tak bisa menyalahkan siapapun, tidak juga dirimu.
  Aku tiba di pinggiran kali kecil, mengikutinya sampai di titi. Sebentar lagi sampai di pondok tempat aku tidur, tapi sungguh, aku belum bisa tenang. di pintu pondok itu aku berdiri, belum masuk. mencoba mengurai perjalananku. kira-kira dua minggu yang lalu, aku memutuskan meninggalkan mas Prapto dan kesibukannya yang biasanya sedikit terbantu dengan keberadaanku di sana, mengunjungi teman-teman dan ternyata itu tidak mengurangi bebanku, hingga akhirnya aku pulang ke rumah, tempatku dilahirkan, menemukan sedikit ketenangan bersama mereka, bapak dan emakku. kini aku di hutan ini, sembunyi? bodoh.
  Aku masuk kedalam pondok, menyambar sebuah buku catatan tebal di atas dipan tidurku. Kubaca judul terakhir "mata luka senyum cinta"
( http://byurr.multiply.com/journal/item/4/Mata_luka_senyum_Cinta )

kubaca berulang-ulang. tak cukupkah ini?
aku tersenyum, perlahan kutahu apa yang kulakukan di sini. ku tutup buku catatan itu, meletakkannya di aatas dipan. aku melompat turun, menggores satu-persatu pohon getah dengan pisau takik yang tajam. meski sudah kesiangan, terlalu siang. Getah menetes perlahan, mengisi tempurung tampungan menanti penuh.



Sabtu, 27 Juni 2009

merajuk.

hari itu terik sangat, di sebuah desa yang indah, seorang bocah asyik bermain di teras rumahnya, hingga lewat seorang penjaja es krim. bocah berlari ke dalam rumah, merengek pada ibunya, tidak berhasil, seterik ini, dengan kondisi tubuhmu, dan eskrim yang itu, tidak mungkin ibu membelikannya untukmu nak. itu alasan sang ibu yang si bocah tentu saja tidak mengerti.
"fine!!" teriak si bocah, kembali bermain, rajuk dan kesalnya sungguh belum hilang.
sang ibu mendapati anaknya memanjat pohon jambu di depan rumah itu.
"turun nak, nanti bisa jatuh!" ini kesempatan, apa yang terjadi? si anak manjat makin tinggi.
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

Jumat, 26 Juni 2009

ada nggak ya?

"dari mana, Nduk?"
"ngaji, mas."
"bahas apa?"
"ikhlas"
"pasti seru, ya kan?"
si nduk(panggilan untuk perempuan yang lebih muda) tersenyum, manyun.
"mas..."
"ya?"
"di dunia ini, ada nggak ya orang yang benar-benar ikhlas?"

mendadak bingung, mestinya ane tadi nambah pertanyaan:
"Nduk, tadi waktu ngaji bahas ikhlas, sebenarnya ikhlas itu gimana, Nduk?"
ane keduluan pertanyannya, tentang keberadaan orang-orang yang ikhlas.
pertanyan ane urung, jawaban untuk pertanyaan ane urung, jawaban untuk pertanyaannya pun, urung.

ikhlas.............................................................................................................................

bonceng!!!!!

lagi, meloncat keluar dari belantara.
Kali ini pake motor punya temen, berangkat dari camp ketika matahari masih terang, berpakaian rapi, tanpa tahu bahwa ini yang akan menjadi masalah nanti sebentar lagi.
Melewati sedikit keramaian, sebuah "kota kecil", kemudian kembali menelusuri jalan tanah yang jika bersimpangan dengan kendaraan lain harus siap dengan sejenak penderitaan.
Keperluan selesai, motor dikebut ngejar maghrib bareng-bareng di camp. masih rapi, dan masih belum menjadi masalah.
Sampai di sebuah keramaian, sebuah lambaian tangan berusaha menghentikan ane. Biasa, langkanya kendaraan umum, menjadikan biasa di tempat ini, lambaian tangan menanti tumpangan. ane melambat, mulai muncul masalah. Kian dekat, muncul bimbang dalam hati ane.
 Pergulatan yang sangat dahsyat itu terjadi dalam sekejap.
 dan pemenangnya adalah....
ciiiiit! ane berhenti, seseorang kemudian duduk di belakang ane.
 "ke mana?"
 "ke kota." singkat.
perlahan motor melaju, ane mulai kacau.
 ane telah memilih, tapi kemudian masih saja ada ragu, sekuatnya ane menahan.
"biar saja!" hati ane mengeras.
"tidak menyesal?"
"tidak, tidak perlu menyesal."
"tidak takut?"
"tidak ada yang perlu ditakutkan. tnang saja."
"kenapa seakan-akan inginnya antum masih di belakang tadi dan ngebut saja melewati lambaian tangan seseorang yang kini di duduk di belakangmu?"
"ane tidak begitu, membiarkannya duduk di belakang ane adalah pilihan. berbuat baik."
percakapan tunggal itu terhenti, fikiran ane mulai berisi tentang seseorang yang duduk di belakang ane, semotor, selaju.
 Keras, sebuah pertanyaan muncul lagi, menguatkan ane.
"apa antum akan memberi tumpangan jika yang melambaikan tangannya itu sama rapinya dengan antum?"
"apa antum akan memilih untuk memberi pertolongan kepada orang yang antum sukai saja dan menolak permintaan orang yang lebih membutuhkan?"
"apa antum merasa lebih baik dari seseorang yang saat ini duduk di belakang antum?"

ane terus melaju. ane ingat-ingat lagi ciri-ciri fisik-nya, lelaki itu masih muda, sangat kotor, tanpa alas kaki. kotornya bukan karena pekerjaan atau barusan main kotor-kotoran, tapi jelas, kotornya adalah karena lama sekali tak dibersihkan, kaki, tangan, wajah, rambut, celana dan bajunya.

muncul lagi masalah ketika melewati keramaian, pasang-pasang mata. membuat ane ketakutan, tiap kali yang mereka lihat adalah di belakang ane.
diam sepanjang jalan. percakapan bahkan caci maki penuh di kepala ane. sulit, untuk tulus.

ane tidak tahu kapan terakhir kali anak ini mandi, bahkan ane tidak tahu jalan fikirannya, layaknya kita kah? atau sedikit berbeda?

di kota, ane kira anak ini tak akan meminta untuk turun, di sebuah persimpangan ane berhenti, jika tujuannya adalah "kota", ini persimpangan terakhir kesempatannya untuk turun, kecuali mau ngikut ke camp ane, dan itu jelas tidak mungkin.
"takkan kubiarkan!!!" hehehe

ane berhenti, laki-laki muda itu turun perlahan, sebuah cahaya seperti masuk keotak ane.
ditepuknya tempatnya tadi duduk beberapa kali(seperti hendak membersihkan).

dilipatnya baik-baik pijakan boncengan yang tadi dibuka dan diinjaknya sepanjang jalan,.

kemudian lelaki kumal ini mengucapkan terima kasih, fasih, dan sedikit senyum.
itu lebih dari cukup menyudahi berisik dalam kepala ane, dan mengatasi pasang-pasang mata yang mengerikan sepanjang jalan.

"yuuup!!" ane langsung ngebut lagi. maghrib bareng di camp tidak terlambat.

Minggu, 14 Juni 2009

sekuntum bunga untuk emak

purnama tak lagi sempurna,
kepul diam menhijabnya bagai cadar menghantar keindahan sempurna,
meski langit melukis badai entah di mana.
aku telah di sini.
membuka lembar demi lembar kitab ini.
sejenak hendak kuintip halaman usang itu.
aku mengikutinya perlahan. menikmati pendar pijar di ujung syaraf ingatanku.

;;;;;;;;;;;;;;;;;;

Bagaimana kan kurengkuh dayung
jika masih tertambat tali di tepian?
Biduk menanti riak yang menggelitik
siap tuk laju kini atau nanti.
tak peduli langit melukis badai, atau arus membawa tanda.
hanya aku yang akan dihantarnya kemana kumau.
  Tepian itu taman, aku selalu berlarian, dalam asuhan.
kini hendak bidukkecil kurengkuh dayungnya.
di atas daun kutulis sebuah percakapan:

bunda: "biar Kau bawa suara jadi sunyi di sini. doa takkan henti bunda pinta. tapi telah khatamkah olehmu lukisan langit? Cemas bunda tertahan di muara, terapung di gelombang."
aku: "Kan kuikuti sketsanya, khatamnya bukan di sini, Bunda. KIni atau nanti, muara takkan tenang, gelombang tak akan diam. Kan kuraih cemasmu, ke dasar hati kuredam rintihnya."

     Tepian itu,....
sendiri sunyi di belakang bunda berdiri, selendangnya menghijab mataku dari pudar warna.
hati berbisik: " usung sesiram sejuk, tabur setangkup bakti, kelak kembali, boleh kau petik setangkai bunga, untuk bunda."

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

nak (punyaan Iwan F)

Sesekali keluar dari belantara. Sepanjang perjalanan menghisap debu jalan tanah yang terbakar matahari. Hendak turut barangkali dalam mobil penuh sesak penumpang yang kaca jendelanya tak lagi dapat ditutup sempurna.
sebuah nyanyian mas iwan mengingatkan betapa aku dulu begitu menyukai lagu-lagunya.

Nak. (Iwanfals)
Jauh jalan yang harus kau tempuh,
Mungkin samar bahkan mungkin gelap.
Tajam kerikil setiap saat menunggu,
Engkau lewat dengan kaki tak bersepatu.

Duduk sini, Nak. Dekat pada bapak.
Jangan Kau ganggu, ibumu.
Turunlah lekas dari pangkuannya
Engkau lelaki kelak sendiri.

====================================

boleh masuklah debu kedalam sini, bersama kita melaju jauh.
tak boleh memaksa masuk ke dalam dadaku.

hanya disinggahinya mataku, memanggil cairan bening itu mengalir.

Sabtu, 13 Juni 2009

judulin, silahkan.

Sungguh, aku mengenali tempat ini
di mana aku, sunyi dan hening menjadi satu
dalam sebuah cerita pendek yang tak pernah selesai
di mana kita, yaitu Kau dan mimpimu,
aku dan heningku,
tak pernah beranjak kala gerimis menderas.
di mana hujan makian dan badai kegembiraan,
boleh singgah di mana suka

Sungguh, aku mengenali tempat ini
di mana aku memulai sebuah percakapan
hingga diam menjadi bahasa yang baku
di mana kita, yaitu Kau dan semangatmu,
aku dan kedunguan itu,
bercampur dalam sebuah lukisan bergambar jalan setapak.

Sungguh aku mengenali tempat ini
di mana tiba-tiba terbuka mataku kala rintik berhenti
di mana kita, yaitu Kau dan suara langkahmu,
aku dan denyut jantung itu,
bernyanyi, dengan suara masing-masing.

Karena rumput tetangga lebih hijau. (5)

Saya pun bercerita pada istri, kesenangan sesaat saya, ke-nelangsa-an saya, dan itsar! *gedubrak.. Istri hanya tersenyum karena kekonyolan i...