Senin, 11 Mei 2009

bab23, menggantikan bapak menggetah di hutan.

  Tersentak, ternyata jam 2 malam. Setetes bening dari sela rumbia tersusun padat menterkejutkan lelapku tiba-tiba. Deraskah?
 Tidak, inilah embun, yang telah menunggu, inilah embun, yang bertemu, melewati padat ikat rumbia pada bambu bersusun.
 Bertemu menjadi bulir bening jatuh tepat di sisi daun telingaku, kemudian menyentuh papan kayu bersusun alas tidurku.
 Terus pada papan lain yang tak lebih halus, lantai. Terakhir menggumuli tanah sebelum kemudian tenggelam ke dalamnya.
Aku mengintip benderang dari sela bambu beranyam dinding bilik. purnama sempurna.
kilau teduh itu mengitari tepian rinduku, pada sebait senyum pada halaman lain, di buku yang lain.
Duduk, aku yakin tak dapat mengulang lelap yang begitu mahal untukku. jangkrik, denging sayap nyamuk.
Kunyalai lampu minyak dari kaleng susu bersumbu karung terigu. Temaram, asap mengepul.
Kutiup cahaya itu hingga padam. kupilih benderang di luar. purnama...
Awan, menghitam di sudutnya hendak menyentuh tepian bibir purnama. tak bisa!!!
Kukenakan jaket dan sepatu berujung besi melompat mencari jalan setapak.
sisa kantuk yang tak sempat kuselesaikan kubawa serta.
membelah belantara gelapnya, mencari entah.
Kubelah belantara kala dingin masih mampu menembus jaket yang kukenakan, terecap di tulang pasi-kan telapak tanganku, ujung jarinya mengkerut, mulai basah oleh embun di dedaun semak belukar. Purnama sempurna melekat di langit cerah, gemintang kemerlip menyusun galaksi masing-masing, gumpalan mendung kecil-kecil sentiasa menjaga jaraknya dari lingkaran sempurna rembulan purnama, menjadi lukisan.
  Aku terjerembab, ujung besi sepatu di kakiku bertemu akar-akar yang meninggi dari tanah.
 Lihat ke bawah!!!
 Sama saja, sempurna purnama benderangnya bukan cukup menerangi setapak berliku ini.
Tapi janji, aku tak akn tercebur ke kali di sisi kananku, sebab di situ purnama berderai menjadi serpih yang menari.
 Di seberang kunang-kunang berpuluh jumlahnya berpendar, terbang bergetar cahayanya, kalau begitu aku mencari cahaya, tak jauh di seberang kali kecil ini.
 Aku melangkah di atas titi (jembatan), kemudian menjauh dari kali, menembus rimbun pepohon getah di kiri-kanan langkahku. Kian gulita, cahaya dari langit tak mampu tembus daun-daun rerindang menyampul bumi. Tapi tak lama, karena kemudian kulihat cahaya. Aku mendekatinya langkah demi langkah, makin lamban ayun kaki dalam gelap ini.
 Cahaya itu kian terang, kulihat kemudian, jalan raya, tepat di seberangnya adalah hentian, bisa kau lihat, rumah makan, kedai kopi, mushola, dan lain-lain. Maka selesai sudah kuseberangi belantara hutan getah barusan, tak jauh ke tempat ini, tak sulit perjalanan ini, aku hanya harus menembus belantara hutan getah yang gelap, itu saja. Lebih jauh jika aku harus pulang, melintas terjal dakian dan turunan, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, dan butuh beberapa jam untuk sampai ke rumah bapak. karenanya aku tak pulang, menginap di hutan, membawa bekal untuk seminggu, tak bertemu siapa-siapa, tak bicara dengan siapa-siapa, tepat seperti inginku.
 Tapi malam ini aku telah di sini, duduk memesan segelas susu hangat, pemilik menawarkan kopi, sayang aku tak suka kopi.
 Dua buah bus berhenti di depan rumah makan, sementara di tempat yang lebih ke tepi ada 3 truk gandeng parkir berjajar.
 Pemilik warung menyodorkan gelas penuh berisi padaku. Aku duduk bersandar di tiang menghadap ke salah satu bus. Dari pintu yang terbuka kulihat seorang perempuan, berjilbab, membuka sekotak nasi, meletakkan sebotol air di samping duduknya, jilba itu biru terang warnanya.
 Ah, aku begitu rindu dari jauh memandangi jilbab-jilbab yang menjanjikan penjagaan. Hijab untuk hati yang setiap detiknya adalah cemas, setiap hela nafasnya adalah rasa takut. penjagaan dari tajamnya mata-mata yang liar, hati yang di dalamnya ada penyakit.
tiba-tiba ni begitu menyakitkan, tak hendak berlama-lama dengan rasa tidak nyaman itu aku pun berpaling, mengisi penuh-penuh fikiranku dengan segelas susu hangat, rupanya pemilik warung mencelupkan sekantong teh kedalamnya.
 Aku berbaring di bangku panjang, menghitung bintang, sementara telinga mendengar percakapan-percakapan yang tak penting, mataku mulai berat, letih, aku terlelap.
 Mimpi merayap menyergap aku dalam gelap. aku berdiri sendiri mendengar bisik semilir menawarkan tarian aurora di ufuk sana. seekor naga muncul entah dari mana. Meliuk, merendah di hadapanku, seakan menawariku tumpangan buat terbang bersama. aku begitu saja bergelayut di lehernya.
 "Aku akn di sini sejenak, Anak muda..."
 "Tak bisakah aku ikut denganmu saja?"
 Sang naga diam, terbangnya kian tinggi melewati gumpalan mendung, kulihat bias cahaya dari timur, cahaya keemasan! Nag meliuk berputar dan aku....
 Terlepas, aku tak lagi bersama sang naga, jatuh sendiri, melewati gumpalan mendung, terus turun. Aku pasti mati pikirku, wajahku terasa kebas, tanah terhampar siap menanti jatuhku, itulah tempat kembali tubuhku, tempat kembali wujud asalku, baru kusadari.
aku terpejam, tiba-tiba tubuhku terasa kembali melayang, perlahan kubuka mata, naga itu telah menangkap tubuhku, mendudukkan aku di lehernya, dan terbang merendah.
 "Kau pilih bermimpi, Kau akan terjaga. Kau pilih terbang, Kau mungkin terjatuh. Kau pilih bersamaku, Kau harus siap dengan segala kemungkinanku. Maksudku kemungkinanmu sendiri."
(diadaptasi dari Cala Ibi, sebuah novel)
 
Sang naga masih diam, memberi pilihan padaku untuk turun.
 "Aku tak peduli!!!!" pikirku, aku berpegang lebih kuat. Maka ia kembali naik ke angkasa, membawaku terbang di atas sungai, gunung, hutan, persawahan.
Hingga kami (aku dan sang naga) sampai di sebuah pemukiman yang benderang, di tengah-tengah pemukiman itu ada sebuah tanah lapang, Obor bambu di sana sini menerangi tiap sudutnya. ramai orang berkumpul mengelilingi unggun besar. di lingkaran terdekat, anak-anak menari, di sekelilingnya anak-anak yang lain menabuh rebana, mereka mendendangkan sholaewat, riuh sangat. Aku terpana di atas leher sang naga yang tak begitu peduli dengan keramaian ini. Sang naga sengaja membiarkan aku menikmati ini, hingga semua anak-anak itu berhenti menari dan bersholawat.
  Lamat-lamat ku dengarsuara, semua tertunduk. suara itu melantunkan kalimat-kalimat indah, terus mengalun, memicu haru hingga ketika suara itu terhanti, seorang bertubuh kekar membawa sebuah bedug ke tepian lingkaran. AKu mulai mengantuk, bergelayut manja(bolehlah^_^) di leher sang naga hinga pukulan pertama berdentum, disusul pukulan kedua dan seterusnya, kurasakan mataku kian berat. kusandarkan tubuh dan wajahku di kulit leher naga yang hangat. Sang naga beranjak perlahan, semilir menerpa wajahku, kantuk kian menyerang. Aku berpegang sekuat yang kumampu.
  Dua takbir bersambung mengejutkanku, jantung berdegub keras sekali, aku terbelalak, tapi tetap saja gelap.
 Dua takbir bersambung sekali lagi membahana, aku terjaga. Aku duduk, kini hanya aku dan pemilik warung, azan berlanjut. Kuserahkan lembar uang padanya.
 "menurut Mas, ap naga itu benar-benar pernah ada?" aku terkejut ditanyai begitu.
  "Naga?" aku balik bertanya.
  "Iya, tadi ada dua sopir di sini yang bicara soal naga, seakan-akan naga itu benar-benar ada." ucapnya sambil menyodorkan kembalian padaku.
 Aku tersenyum, menolak kembalian itu dan mengambil sebungkus nagasari di atas meja.
 Aku mengacungkan bungkusan nagasari itu sambil tersenyum padanya, berharap itu bisa jadi jawaban.
 Aku bergegas menuju musholla.
 Ada yang menarik ketika aku hendak menambil air wudlu, sebuah bedug dari kayu randu dan kulit sapi berwarna coklat terang, menggantung di teras mushola, aku memandanginya sesaat, kemudian mengambil wudlu untuk melaksanakan subuh bersama jemaah yang lain.
 Bedug itu mengingatkan aku pada bulan puasa yang selalu indah dalam ingatanku. Pertanda berbuka...
 ***
 Usai subuh aku masih duduk menepi dari sajadah yang membatasi dudukku dari lantai. Meresapi dingin lantai mushala lewat betis, juga dua telapak tangan yang menopangku dari belakang. Jemaah habis meninggalkan mushala, tinggal aku sendiri dan imam sholat yang sibuk bertilawah.
 Aku duduk, sendiri, tidak berpikir, tidak berdzikir. Cahaya semburat mulai mengintip perlahan, sang imam menyudahi tilawahnya, membunyikan Tape recorder yang dikeraskan dengan Toa, corong ajaib.
 Sholawat pun mulai meriah di dendangkan anak-anak diiringi tabuhan rebana, aku mulai memahami perjalananku bersama sang naga.
 Cahaya perlahan bertambah kadarnya mencampuri pandanganku, seakan memintaku menjelaskan perjalanan ini, aku telah disini, hampir tanpa alasan.
 Berlari ke hutan, kemudian berlari dari hutan. Bukan begini mestinya...
  
(belum selesai)

5 komentar:

  1. kali ini perlu baca 2 kali ( masih jg sulit mengerti )
    tapi,wajar :D karena belum selesai kan?
    bab 1 nya mana?
    semangat!

    BalasHapus
  2. menggetah, istilah aslinya bukan begitu, itu istilah ane.^_^
    biasanya orang bilang menyadap, yaitu menyadap getah dari pohon karet.

    BalasHapus
  3. bab satu ada di postingan "kelahiran marjo", karena ada yang harus disembunyikan, bab itu belum boleh post. hehehe ^_^
    (aslinya memang bener-bener belum kelar)

    BalasHapus
  4. iya neehh... perlu diusulkan masuk kosakata indonesia baru

    BalasHapus

Karena rumput tetangga lebih hijau. (5)

Saya pun bercerita pada istri, kesenangan sesaat saya, ke-nelangsa-an saya, dan itsar! *gedubrak.. Istri hanya tersenyum karena kekonyolan i...